Enambelas

14.3K 701 22
                                    

Aku mencintaimu dengan sederhana, seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Sehancur apapun hatiku saat mendapati cintaku yang tak terbalas, tak pernah sedikitpun terlintas dalam benakku untuk pergi dari sisimu. Bukankah sudah pernah kubilang bahwa mencintaimu sama seperti dengan bernafas, meski cintamu bukanlah untukku tapi aku tidak pernah menyerah untuk meraih hatimu karena cinta butuh untuk diperjuangkan.

Bahkan disaat dia tak pernah membalas pernyataan cintaku, aku masih bisa bersabar. Karena aku yakin suatu saat nanti dia akan menyadari betapa besar rasa cintaku padanya.

Walau terkadang rasa putus asa kerap kali mendera, namun aku terus berusaha menghalau rasa itu dan kembali menyemangati diri sendiri untuk tetap bertahan.

Mencintai seseorang yang tidak mencintaimu memang menyakitkan, tapi yang lebih menyakitkan lagi adalah pria yang kau nikahi ternyata mencintai saudaramu sendiri. Fakta menyakitkan itu harus kuterima disaat hatiku tengah membumbung tinggi, disaat impian-impian tentang kebahagiaan mulai terangkai setelah malam penyatuan kami.

Aku menangis, hanya itu yang bisa kulakukan. Aku tak punya energi untuk melampiaskan kekecewaanku pada mereka, apalagi saat itu adalah hari terakhir kami menginap di rumah Ayah. Aku tak mau membuat Ayah khawatir.

Dan inilah keputusanku, setelah beberapa hari merenung aku memilih untuk mundur. Meski Mas Raihan sudah menjelaskan segalanya, tapi rasa bersalah karena sudah merenggut kebahagiaan mereka tak membuatku berubah pikiran.

Hanya saja sebelum perpisahan ini benar-benar terjadi, aku ingin memberikan sesuatu di hari jadinya nanti. Untuk itulah sejak dua malam kemarin aku pulang telat karena membantu mama mertuaku menyiapkan pesta kejutan untuknya. Dan disanalah akan kuberitahu pada orangtua kami tentang keputusanku untuk mengakhiri segalanya, tentunya tanpa menjelaskan alasan sebenarnya. Aku tidak mau memojokkan posisi Mas Raihan dan Mba Dira, mereka tidak bersalah. Keadaanlah yang membuat mereka akhirnya memilih untuk berkorban untukku.

Aku tidak membenci Mas Raihan ataupun Mba Diza, aku hanya kecewa pada mereka. Mereka kompak mengasihaniku. Kalau saja sejak awal mereka jujur, tidak akan begini jadinya. Tak masalah dengan perasaanku saat itu, karena bagiku kebahagiaan orang-orang yang kusayangi itu jauh lebih penting.

Kuharap ini keputusan tepat.

●●●

Saat berjalan menuju parkiran kampus, aku melihat Mba Dira sudah berdiri di dekat mobilku yang terparkir.

"Diz, Mba mau bicara sama kamu." Katanya setelah mengucapkan salam, wajahnya terlihat murung. Tak dapat menghindar, aku pun hanya bisa mengangguk mengiyakan.

Dan disinilah kami, duduk di dalam mobilku. Kami sama-sama terdiam sambil menunggu salah satu dari kami membuka suara.

"Diz, Mba minta maaf atas kejadian malam itu. Mba..." kata-katanya terputus karena aku yang langsung menyela.

"Mba Dira ngga perlu minta maaf. Justru akulah yang salah, aku sudah tanpa sengaja merusak hubungan kalian. Aku hanya kecewa karena Mba ngga berterus terang tentang Mas Raihan, bukankah dia yang selama ini Mba tunggu. Iya kan Mba...?"

Mba Dira menatapku "Tapi kami memang tak punya hubungan seperti yang kamu pikirkan Diz. Meski awalnya sulit menerimanya, tapi kami menyikapi kalau ini semua adalah takdir. Takdir yang sudah menyatukan kalian, jangan pernah sekalipun kamu meragukan ketentuan Allah."

Aku terdiam.

"Mungkin Allah menginginkan kita bertemu dan bercinta dengan orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, kita harus mengerti bagaimana berterima kasih atas karunia tersebut. Dan Mba rasa, Mba bukanlah wanita yang tepat untuk Raihan begitu pun sebaliknya."

GadizaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang