Limabelas

13.6K 680 25
                                    

Masa lalu bukan untuk disesali, aku sedang berusaha untuk itu. Nadira, sebuah nama yang sudah terpatri cukup lama di lubuk hatiku. Aku memendam rasa pada dirinya yang akhirnya tak bisa kumiliki, bahkan tak mungkin kutemui. Itulah kenyataan yang harus kuterima. Melupakan cinta pertama bukanlah perkara mudah, butuh waktu untuk sekedar mengesampingkan egoku yang awalnya tak mengizinkan siapapun untuk menjamah hatiku selain dirinya. Aku tidak pernah menyesal telah mengenalnya, karena dengan mengenalnya pada akhirnya telah membawaku pada dirimu.

Justru yang kini kusesali adalah disaat aku kehilangan dirimu, yang membuat hati kecilku selalu berkata, Betapa bodohnya aku. Membiarkan cinta itu pergi menghilang dan hanya meninggalkan sebuah penyesalan.

Tak ada sikap yang kamu tunjukkan padaku, sudah kubuang kekerasan hati ini untuk menyapa dan mengungkapkan sebait kata-kata. Sungguh aku ingin kau membalasnya, pahit rasanya melihat ketika kamu menatapku. Aroma kebencianmu itu serasa menusukku. Maafkan atas semua kesalahanku padamu, semua itu tak pernah aku rencanakan. Aku bukanlah pria yang berani menerjang samudera cinta yang luas, aku hanya sebuah ironi yang bisu, yang berusaha masuk dalam elegi hatimu.

Belaian tanganmu yang tak akan pernah kulupakan, suara hembusan nafasmu masih sangat jelas kurasakan. Seumur hidupku, hanya dirimu yang kupersilahkan menyentuhku. Pertama kali dengan lembut, sopan, ramah dan penuh kasih sayang. Dirimulah yang selalu ada didalam hatiku, aku yakin engkaulah yang akan menemani sisa hidupku. Tataplah mataku, disana terlihat jelas kebahagiaan cinta kita. Bayangan dari kebahagiaan gambaran asmara. Apa yang terjadi hari ini, tidak akan merubah percintaan kita dikemudian harinya.

Gadiza, isteriku

Maafkan aku.

Maafkan aku.

Maafkan aku.

Bahkan ribuan maaf pun rasanya tidak bisa menebus semua kesalahanku padamu, luka yang kutorehkan padamu teramat dalam.

Aku memejamkan mata kala mengingat malam itu, malam naas yang membuat kita menjadi jauh seperti ini. Malam dimana menjadi malam penyesalan seumur hidupku.

Pekerjaanku yang sudah hampir selesai harus jeda sejenak kala aku mendapati cangkirku yang kosong. Melihat Diza tertidur lelap membuatku tak tega membangunkannya hanya untuk membuatkanku minuman. Karena itu, aku memutuskan untuk membuatnya sendiri. Namun siapa sangka di dapur aku bertemu dengannya, di pagi buta. Di saat semua orang masih tertidur. Menghindarinya hanya akan membuat keadaan kami semakin buruk, lagipula dia sudah melihat kehadiranku dengan wajah super terkejutnya.

"Kamu sedang apa Di?" Kuberanikan diri untuk memulai pembicaraan kami.

"Sedang buat teh, tiba-tiba saja terbangun dan butuh air hangat untuk sekedar mengusir dingin."

Aku hanya mengangguk-ngangguk, bingung harus bicara apa lagi.

"Apa kamu mau aku buatin sekalian?" Tanyanya saat melihat cangkir kosong ditanganku.

"Ohh... ngga perlu Di. Biar aku buat sendiri."

Saat melangkah menuju dispenser, ponsel yang selalu berada di saku celanaku berdering. Mataku sempat mengernyit saat nama Rumah sakit berkedip-kedip di layar ponselku.

"Kamu angkat teleponnya aja Ray, biar aku yang buat tehnya." Dia mengajukan dirinya lagi, dan kali ini tak kutolak. Tak mau mengganggu orang lain dengan suara ponselku aku segera mengangkatnya dan berjalan menuju halaman belakang.

Kukira ada hal buruk yang terjadi pada salah satu pasien, ternyata hanya laporan mengenai kondisi pasien yang akan ku operasi beberapa hari lagi. Syukurlah. Aku memang sudah menitip pesan pada setiap suster atau dokter yang mendapat jatah jaga malam untuk selalu melaporkan perkembangan kondisi si pasien sampai beberapa hari kedepan.

GadizaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang