Sebelas

11K 606 5
                                    

Aku tahu ini salah, aku tahu ini tak adil untuknya. Aku memang brengsek, bisa-bisanya aku membayangkan bahwa wanita yang tidur disampingku sekarang adalah Nadira padahal jelas-jelas tadi pagi aku sudah mengucap ijab qabul dan janji setia pada Gadiza dihadapan Allah dan keluarga besar, gadis cantik yang sudah memberikan hatinya padaku. Gadis yang sudah seharusnya menjadi pemilik cintaku setelah Allah dan rasulullah.

Astaghfirullah

'Sadarlah Raihan, tidak seharusnya kamu mengkhianati ikatan suci ini. Relakanlah semua dan jalani apa yang sudah kamu putuskan, gadis yang kini ada dihadapanmu adalah gadis yang kamu pilih menjadi bagian dari hidupmu. Sudah selayaknya kau sayangi dan kau cintai, jangan sekali-kali membuatnya menangis apalagi sampai membuatnya tersakiti' benakku meneriakkan kalimat-kalimat yang menarikku kembali pada kenyataan.

Kutatap wajahnya yang cantik itu, terlihat damai dalam tidurnya. Malam yang seharusnya kami lewati dengan saling bercengkrama harus berakhir dengan hanya tidur bersisian seperti ini. Meski ia tersenyum dan berusaha memahamiku tapi aku tau dia kecewa, aku menyesal tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak tega bila harus mengkhianatinya lebih dalam lagi, memikirkan wanita lain di malam pengantin kami. Aku sungguh tidak tega.

Kubalik badan dan memunggunginya, melirik jam di nakas yang sudah bertengger di angka tiga, aku bahkan tak sadar ini sudah dini hari. Kupaksakan mataku terpejam, namun baru beberapa menit terpejam kurasakan ada pergerakan dari orang disampingku. Terdengar langkahnya yang mendekat ke arahku, nafasnya terasa hangat menerpa wajahku. Baru saja aku hendak membuka mata tapi tiba-tiba ada sesuatu yang hangat menyentuh kulitku. Gadiza mencium keningku, sebegitu besarnya kah cintanya padaku?

Rupanya Diza terbangun untuk melakukan shalat malam, mataku sepenuhnya menatap dirinya yang kini sedang menengadahkan kedua tangannya mengucap serentetan doa yang ditujukan untukku dan khususnya untuk pernikahan kami. Ya Allah, betapa beruntungnya aku memiliki istri soleha sepertinya namun kenapa aku masih mengharapkan orang lain untuk kuperistri. Disaat aku belum bisa memberikan hatiku untuknya, dia dengan ikhlas mendoakanku. Tapi kenapa hati ini belum tergerak untuk beralih padanya dan melupakan seseorang di masa lalu.

Lagi-lagi aku beristighfar, rasa kantuk yang tadinya kurasakan kini menguap entah kemana. Aku masih bertahan pada kepura-puraanku karena seperti dugaanku sebelumnya, Diza kembali mendekat dan kali ini tangannya terulur menyusuri wajahku, kurasakan tangannya berhenti di bibirku. Entah apa yang ada dipikirannya, tapi aku tahu sisi priaku mulai menunjukkan reaksinya dan aku harus menghentikannya. Kugerakkan tubuhku dengan sengaja yang otomatis membuat tangannya terhenti dari aktivitasnya, berdosalah aku yang membuat istriku melakukan hal yang seharusnya bisa dilakukan tanpa sembunyi-sembunyi seperti ini. Maafkan aku Diza.

●●●

Hari pertama dengan statusku sebagai suami Gadiza rupanya langsung diuji, usai mandi aku ikut sarapan dengan keluarga Diza yang kini juga menjadi keluargaku. Mataku langsung melihat ke arah Nadira yang sedang sibuk mempersiapkan nasi goreng sebagai menu sarapan kami, sementara Diza asyik mengobrol dengan Ayahnya. Sejak kemarin saat ijab qabul sampai resepsi kuakui kalau aku sering mencuri pandang dengannya dan sesekali pandangan kami bertemu tapi seperti yang sudah kuduga, Dira akan langsung membuang muka dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Aku tahu dibalik senyumnya pada hari itu tersimpan banyak kesedihan, aku bisa merasakannya. Apa kamu bisa merasakan kesedihanku juga, Dira?

"Duduk disini Mas!" Seru Diza antusias sedikit mengejutkanku, Ayah tersenyum menyambutku.

"Bagaimana barang-barang bawaan kalian, apa sudah siap semua? Pastikan jangan sampai ada yang tertinggal." Pesan Ayah pada kami berdua.

"Aku udah cek sampai tiga kali Yah, Ayah ngga usah khawatir." Sela Diza yang langsung dibalas dengan anggukan Ayah.

"Lagipula kami disana hanya tiga hari, jadi tidak terlalu banyak barang yang dibawa." Sahutku kemudian.

Selanjutnya kami sarapan dengan tenang, sambil Ayah bercerita mengenai kebiasaan Diza yang menurutnya harus kumaklumi, seperti Diza yang tidak bisa memasak dan sifat manjanya. Sesekali aku melirik ke arah Dira yang duduk tepat di depanku, kulihat tangannya sedikit bergetar dan wajahnya pucat mendengar pembicaraan kami. Apa dia tak nyaman mendengarnya? Tapi kenapa? Bukankah ini yang dia mau.

Segala pertanyaan berkecamuk dalam kepalaku hingga tiba saatnya kami harus berangkat, kedua orangtua kami mengantar sampai bandara untuk melepas kepergian kami. Mereka tak henti-hentinya menggodaku maupun Diza, dan yang lebih parah mama meneriaki kami untuk segera memberikannya cucu. Yang benar saja, kami bahkan baru menikah kemarin.

Sesampainya di pulau Bali, kami langsung istirahat di hotel karena jujur aku lelah dan ngantuk sekali, Diza  pun tak keberatan menunda acara jalan-jalannya.

●●●

Wanita muda itu berlari dengan riangnya menikmati derai ombak pantai yang mengejar setiap langkahnya di pasir putih itu. Bibirku ikut tersenyum melihatnya yang tak henti-hentinya mengeluarkan tawa, terdengar sangat renyah dan menyejukkan hati, sesejuk udara di sore ini.  Kuabadikan senyumnya dalam sebuah foto yang kuambil dengan kamera ponselku, hijab pinknya membingkai wajah cantiknya yang terlihat begitu serasi dengan pakaian yang dikenakannya.

Aku cukup terkejut saat Diza mengutarakan niatnya untuk mengenakan hijab di hari pertama pernikahan kami, alasannya karena dia ingin menjaga kehormatannya sebagai seorang istri. Apapun alasannya aku benar-benar kagum padanya, mengucap syukur atas pilihan terbaiknya itu demi menjadi seorang wanita muslimah dan istri soleha.

"Mas Raihan," Suara khasnya memanggilku yang sedang duduk di tepi pantai. Tangannya melambai mengisyaratkan agar aku bergabung dengannya yang masih asyik bermain air, tanpa ragu aku menghampirinya.

Tak diduga-duga Diza menghentakkan kakinya ke pasir hingga air pantai membasahi pakaianku, tak puas sampai disitu lagi-lagi dia menghentakkan kakinya lebih kencang lagi dan berkali-kali hingga airnya mengenai wajahku. Melihatnya menertawaiku membuatku gemas, dengan mimik wajah kesal yang kubuat-buat ku balas perbuatannya, wajah dan pakaiannnya basah seketika dan memaksanya menghentikan tawa, aku balik menertawainya.

"Mas Raihaaaaaannnn....."geramnya lalu kembali menyerangku dengan lebih ganas, aku tak mungkin tinggal diam saja dan jadilah sore itu kami saling menyerang hingga seluruh pakaian yang kami kenakan basah kuyup.

Kami tertawa, inilah kali pertama kami bisa bersikap lepas seperti ini, tak ada kecanggungan yang sudah dua hari ini kami rasakan. Dua hari kemarin kami menjelajahi keindahan pulau dewata, barangkali inilah saat-saat yang paling berkesan. Sekali lagi aku mengabadikan moment ini dengan berselfie ria dengannya, ternyata dia narsis juga terbukti dengan beberapa foto yang memperlihatkan berbagai macam ekspresinya. Manis dan lucu.

Sore menjelang dan beberapa menit lagi matahari turun dari peraduannya, warna langit yang berubah menjadi jingga membuat pemandangan di sekitar pantai terlihat begitu indah. Aku menoleh saat merasakan kepalanya bersandar di bahuku, pandangannya lurus kedepan "Apa suatu saat nanti kita bisa kembali kesini dengan situasi yang berbeda? Dimana hati kita telah menyatu seperti pasangan yang lainnya," Suranya terdengar Lirih, kepalanya mendongak kearahku "Apa aku boleh berharap?" Harapan sesederhana itu pun aku tidak bisa langsung menyanggupinya, suami macam apa aku ini?

Janji yang sempat aku koar-koarkan pada Diza dimalam lamaran itu terbukti hanya omong kosong belaka, nyatanya aku sama sekali tidak memanfaatkan waktu tiga hari ini di moment yang seharusnya menjadi spesial bagi setiap pasangan yang baru menikah. Segalanya butuh proses, hanyalah alibi dariku untuk lari dari kenyataan. Setiap kali aku menatap ke dalam mata Diza selalu saja rasa bersalah itu hadir, pengkhianatan tak kasat mata yang sudah kulakukan sejak awal pernikahan kami.

Raut wajah kecewa selalu kutemukan setiap malamnya, kami berbaring saling memunggungi dan sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Tapi aku yakin aku sudah menyakiti perasaannya meskipun dia selalu melempar senyum padaku.

"Aku akan menunggu" itu yang selalu dia katakan padaku, apa aku akan membiarkannya menunggu sesuatu yang belum pasti bisa kuberikan?

TbC

Galau ModeOn
T_T

Salam,
Arfah_Lee

GadizaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang