Jika kamu mencintai seseorang, maka kamu harus mempersiapkan diri jika suatu saat nanti tersakiti. Cinta tidak melulu berjalan mulus seperti jalan tol, kadang di tengah jalan ada saja kendala yang mesti dihadapi. Dan tak jarang selalu ada kisah buruk yang mengiringi sebuah hubungan.
Tak bisa dipungkiri kalau setiap orang yang mencinta pasti pernah terluka oleh seseorang yang pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya, kamu merasa bodoh karena berhasil dibohongi, kepercayaan yang kamu beri sirna begitu saja, dan akhirnya hatimu sangat terluka. Dan kadang, meskipun kamu mulai terbiasa dengan rasa sakit ini, tapi tetap saja kamu terus memikirkan mengapa dia mampu bertahan dalam dirimu dalam jangka waktu yang lama.
Pun dengan diriku.
Sakit dan kecewa sudah sering kurasakan, kehilangan pun sudah beberapa kali kualami. Jadi kehilangan satu kali lagi kurasa tak masalah. Aku bisa menerimanya, pengalaman sudah mengajarkanku untuk itu.
Tapi pertahananku rupanya tak sekuat seperti apa yang kuyakini, satu hari saja tinggal terpisah sudah membuatku hampir gila. Kalian bisa bayangkan bagaimana aku melewati satu minggu tanpanya, tanpa melihatnya, tanpa mendengar suaranya.
Kalau saja egoku sebagai wanita menang dalam perang batin yang kualami, malam itu juga aku akan menghampirinya ke Apartement lalu memeluknya dengan erat dan mengatakan betapa aku tidak ingin berpisah dengannya. Tapi lagi lagi kekeraskepalaan lebih mendominasi, aku lebih memilih memendam semua perasaanku dan tetap bertahan dengan keputusan yang sudah kubuat.
Ini yang terbaik.
Paling tidak itu yang kuharapkan.
●●●
Tubuhku menggeliat saat sinar matahari masuk melalui celah kamar, gorden pun sudah tersingkap sempurna hingga langit biru terpampang jelas dari sini. Aku duduk bersila untuk mengumpulkan seluruh kesadaranku pagi ini, memandangi kesekeliling dan mendapati aku sendirian di ruangan ini, meski sekujur tubuhku terasa sakit semua dan masih butuh istirahat tapi aku harus segera bangun dan membuat sarapan. Akhirnya dengan sedikit memaksakan diri aku bangkit dari tempat tidur, sambil menguap aku melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Namun belum mencapai kesana, mataku menangkap sesuatu yang tergeletak di atas meja riasku. Sebuah kartu undangan pernikahan berwarna biru muda, dengan beberapa aksen pita yang membuat benda tersebut terlihat manis.
Kuraih dan kupandangi kartu undangan tersebut, senyumku mengembang dengan tatapan haru saat melihat dua nama yang tertera disana, akhirnya mereka menikah setelah melalui perjalanan berliku dan membuat semua orang gemas dengan kisah mereka termasuk aku.
Tiba-tiba saja ada tangan yang melingkar di pundakku, membuatku terkejut dan memaksaku keluar dari lamunan pagiku. Lagi-lagi bibirku melengkung sempurna menciptakan sebuah senyuman yang satu bulan ini tak pernah lepas dari wajahku setiap saat dan setiap harinya.
"Aku kira kamu belum bangun, bagaimana tidurmu semalam sayang? Nyenyak?" Suara maskulinnya terdengar tak begitu jelas, karena bibir yang timbul tenggelam diantara kulit tengkukku.
"Masih berani bertanya soal itu setelah apa yang kamu lakukan, semalaman membuatku tak bisa tidur." Sahutku ketus, dan dia malah terkekeh membuatku mendengus keras-keras.
"Tapi kamu suka kan?"
Kupukul lengannya lalu melepaskan diri dari dekapannya, tubuhku berbalik dan menatap tajam kearahnya. Sampai saat ini aku masih tak mengerti apa yang membuatnya berubah sedrastis ini.
"Apa kamu mau melanjutkan yang semalam?"
Bola mataku hampir meloncat dari tempatnya setelah mendengar penawarannya tersebut. Apa maksudnya? Apa yang semalam belum cukup? Bahkan sekujur tubuhku pagi ini masih terasa sakit akibat olahraga malam yang kami lakukan sampai dini hari tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadiza
Randomkeputusan Ayah untuk menikah lagi setelah bunda meninggal memberi kesan kalau dia sudah tidak menyayangiku lagi sebagai putrinya. Kakak perempuan yang kuharapkan bisa menjadi tempatku berbagi pun mengkhianatiku, dia menerima dengan senang hati kehad...