Tigabelas

11.2K 584 6
                                    

Gelar sebagai pecundang rasanya sangat pantas kusandang saat ini, setelah gagal dalam  mempertahankan cinta pertamaku. Kini aku dengan teganya menyakiti hati seorang wanita yang hatinya teramat baik dan lembut. Aku tak tahu harus bagaimana lagi mengambil sikap didepannya, disaat aku ingin berusaha untuk menerima kehadirannya disaat itu pula bayangan kakaknya selalu hadir. Kukira akan mudah mengenyahkan semua rasa yang selama ini kupunyai untuknya, kukira semua akan berjalan normal setelah terbiasa bersama. Tapi nyatanya tiga bulan berlalu dan semua berjalan tak sesuai dengan apa yang kurencanakan, malah membuat hubungan kami yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Semakin canggung karena aku yang selalu menjaga jarak dengannya.

Malam itu saat kami bermalam dirumah keluargaku, Diza yang selama ini diam dan sabar menerima sikapku mendadak meluapkan emosi dan kekecewaannya karena ketidakhadiranku di acara makan malam bersama orangtuaku. Loyalitas pekerjaanku hanyalah alasan demi menghindarinya. seperti malam itu, aku tidak berbohong soal pasien kecelakaan yang harus kutangani tapi hal tersebut tak memakan waktu lama karena banyak dokter yang bertugas hari itu, dengan sengaja kumatikan ponsel dan mengurung diri di ruanganku hanya untuk membuang waktu agar terhindar dari keharusan kami bersandiwara meskipun itu artinya sama saja dengan melimpahkan seluruh masalah pada Diza. Ya, katakanlah aku pengecut.

Sejak malam itu aku berjanji pada diriku sendiri kalau aku akan berusaha dengan keras memperbaiki semuanya, menata hatiku yang selama ini hanya berpusat pada kisah masa lalu. Aku sadar kami tak mungkin selamanya bersandiwara di hadapan keluarga apalagi mama sudah mulai curiga dengan sikap dan perilaku kami. Untuk itu aku mengusahakan untuk menjaga komunikasi kami serta kuantitas pertemuan kami dengan pulang lebih cepat dari sebelumnya agar kami punya banyak waktu untuk sekedar bicara mengenai aktivitas kami seharian.

Malam ini kami berencana untuk makan malam bersama, Diza pun berjanji akan membuat makanan spesial buatannya sendiri. Aku jadi penasaran dengan hasil masakannya karena selama ini masakan andalannya hanyalah mie goreng instan, itu pun terpaksa dia buat kalau kami sedang dilanda kelaparan pada tengah malam. Sementara untuk menu sarapan kami, dia membuatkan pancake keju yang sudah dipelajarinya saat masih bekerja part time di Cafe.

Ternyata rencana hanyalah tinggal rencana, pekerjaanku sebagai dokter mewajibkanku untuk mengutamakan keselamatan pasien. Aku harus segera melakukan operasi pada pasien yang mendadak kritis, dan tidak ada waktu lagi untuk sekedar memberi kabar pada Diza. Setelah berjam-jam berjuang di ruang operasi, kenyataan pahit harus kuterima beserta tim dokter lainnya. Kami gagal menyelamatkan pasien, dan itu membuatku cukup terpukul.

●●●

Dengan langkah gontai aku berjalan memasuki apartement, suasana hening dan gelap, tidak ada suara apapun yang terdengar kecuali bunyi detak jam dinding. Diza pasti sudah tidur karena sepanjang perjalanan pulang tadi aku terus menghubunginya namun tak ada jawaban, saat melangkah menuju kamar, aku cukup terkejut melihat makanan yang tersaji di meja makan masih utuh dan sama sekali tidak tersentuh. Apa itu artinya Diza belum makan malam? Astaga anak itu. Bukankah aku sering sekali mengingatkannya untuk tidak telat makan. Apa dia tidak ingat dengan penyakit maag-nya.

Saat aku memasuki kamar, kulihat dia berbaring memunggungiku. Bahunya sedikit bergetar karena tarikan nafasnya yang tak teratur, aku tahu dia belum tidur dan hanya berpura-pura tertidur.

"Diz, kamu sudah tidur? Maaf sudah membuatmu menunggu lama, tiba-tiba ada pasien yang anfal dan harus dilakukan operasi mendadak." Kusentuh bahunya yang langsung menegang, namun dia masih mempertahankan kepura-puraannya.

Meski tak mendapat jawaban darinya, aku masih tak beranjak dari tempatku dan tetap menunggu dia bicara.

"Gadiza," panggilku sedikit menuntut berharap mendapat sahutan darinya meskipun itu hanya sebuah gumaman, paling tidak dia mau mendengarkan penjelasanku. Tapi ternyata dia tetap keras kepala dan membuatku sedikit kesal. "Terserah kamu mau percaya atau tidak, yang jelas malam ini aku tak bermaksud membuatmu kecewa." Kataku emosi, aku tahu tidak seharusnya aku marah seperti ini tapi pikiranku yang saat ini sedang kacau karena kegagalan operasiku ditambah sikap acuhnya membuatku kehilangan kesabaran.

Tiba-tiba saja dia bangkit dari tidurnya lalu menatapku tajam "Aku udah muak sama semua alasan kamu Mas, kamu memang ngga berniat untuk memperbaiki semua. Aku kecewa sama kamu, aku...."

Sebelum dia melanjutkan omelannya, kubungkam mulutnya dengan ciumanku tepat di bibirnya. "Maaf" ucapku kemudian disela-sela ciuman pertama kami.

Yang selanjutnya kulihat adalah dia memejamkan matanya, menikmati apa yang tengah kami lakukan saat ini. Sesuatu berdesir di dalam hatiku, entah apa itu. Yang jelas saat ini aku tak mau mengakhiri apa yang sudah kumulai.

Kriuuuuuukkkk...Kriuuuuuuuuukkk...

Suara aneh menginterupsi kegiatan kami dan memaksa kami menarik diri, saling menatap tak percaya.

"Kamu Lapar?" Pertanyaan yang kami lontarkan secara bersamaan membuat kami tertawa. Lebih tepatnya menertawakan diri sendiri, kenapa hal aneh itu terjadi di saat yang tidak tepat. Sangat-sangat tidak romantis, dan sangat MEMALUKAN.

TbC

Semoga yang ini ngga lebih aneh dari part yang kemaren yahh. ^_~

Salam,
Arfah_Lee

GadizaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang