Dua

14K 801 8
                                    

     " karena kamu sudah datang malam ini, sebaiknya kita bersenang-senang "

    " Tidaaaaaaaaaaaakkkk..... " ucapan terakhir bajingan itu selalu terngiang dikepalaku, nafasku terengah-engah bercampur isakan tangisku. Dia... dia yang selama setahun ini berada disisiku tega berbuat hal keji terhadapku, tega merebut semuanya dariku dengan paksa. Aku bergegas ke kamar mandi, berdiri di bawah guyuran shower sambil menggosok seluruh tubuhku dengan kasar hingga kulitku terasa perih tapi aku tak peduli, aku tak mau ada yang tersisa dari sentuhan bajingan itu, aku tak mau. Meski peristiwa itu sudah tiga hari berlalu tapi aku masih mengingat bagaimana tangannya menyentuh setiap lekuk tubuhku juga bibirnya yang menciumi setiap centi tubuhku dan meninggalkan banyak bekas disana. Aku jijik, jijik dengan tubuhku sendiri, aku sudah benar-benar kotor, takkan ada yang bisa menghilangkan kotoran tersebut. Tuhan.... Cabut saja nyawaku sekarang!!!!!

Satu jam berlalu dan Aku masih menangis sesenggukan meratapi nasibku, tubuhku yang sejak tadi basah kini sudah terkulai lemas di lantai kamar mandi, gigiku bergemeletukan karena menggigil kedinginan, bibirku pun rasanya sudah kaku seperti mayat hidup. Pandanganku menjelejahi seluruh isi kamar mandi berharap menemukan cairan pembersih lantai yang bisa kutenggak dan bisa menghilangkan kesakitan ini untuk selamanya tapi harapanku sia-sia karena mba Dira sudah melenyapkan semua barang-barang yang bisa membahayakan nyawaku karena aku sudah mencoba  beberapa kali untuk bunuh diri namun selalu gagal.

Tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka, mataku yang sudah hampir tertutup sempat menangkap sosok itu dengan raut wajah cemas juga suaranya yang memanggil namaku dengan suara bergetar.

●●●

     " Kamu sudah bangun Diz ? " suara mba Dira membuyarkan lamunanku, aku yang sedang duduk meringkuk di dekat ranjang mendongak ke arahnya. Senyum itu masih sama, senyum penuh kehangatan yang selalu aku dapati setiap harinya, senyum yang selama ini aku anggap sebagai senyum kemunafikannya tapi kini dia berikan untuk aku yang berdosa ini. Entah setan apa yang merasukiku hingga aku menyimpan kebencian terhadap saudara kandungku sendiri. Hanya karena iri melihatnya selalu dipuji oleh hampir semua orang yang mengenal keluarga kami karena kemampuan akademiknya hingga membuatnya menjadi seorang dosen termuda di Universitas Swasta di Jakarta, apalagi sejak lima tahun yang lalu dia merubah penampilannya dengan berhijab yang membuatnya semakin terlihat cantik dan anggun. Banyak pria yang berusaha mendekatinya dan tak sedikit pula ada yang berani melamar langsung ke Ayah, tapi dia selalu menolak dengan cara baik-baik tentunya.

     " Diz, kok melamun..? Sudah waktunya makan siang, kamu mau makan di bawah atau mba bawakan makan siangnya ke kamar? " Lagi-lagi mba Dira membuyarkan lamunanku, inilah yang selalu membuat aku iri padanya. Karena kebaikannya yang sama sekali tidak pernah kumiliki.

     " mba nggak ada kelas? " tanyaku lirih, mataku sedikit buram karena airmata yang kutahan. Mba Dira menggeleng "mba ambil cuti kebetulan masih ada sisa cuti tahun ini." See, dia bahkan rela mengambil cuti - yang sangat jarang dia lakukan- karena diriku, Ayah juga sudah tiga hari ini tidak pergi ke kantor, dan tante Inggrid yang selalu merapihkan kamarku yang hancur berantakan setiap aku habis mengamuk dan menjerit histeris, aku sudah membuat semua orang repot. Masih pantaskah aku hidup???

Lagi-lagi aku hanya bisa menangis, mba Dira segera merengkuh tubuhku dan memelukku erat sambil mengusap-ngusap punggungku dengan lembut, menyalurkan kekuatan untuk tubuhku yang sudah semakin lemas karena kelelahan.

     " Diz, jangan menangis lagi. Sudah cukup kamu menangisi apa yang dilakukan pria brengsek itu, kamu ngga sendiri Diz. Ada mba, Ayah, tante Inggrid, Rasya dan tentunya kita punya Allah. Kita hadapi ini sama-sama. Kamu harus bangkit Diz, ini bukanlah akhir hidup kamu. Percayalah Allah tidak akan memberikan ujian diluar kemampuan hambanya. Kamu harus tegar yah Diz...! " ujar mba Dira yang juga berlinang airmata. Aku hanya mengangguk dan tidak mampu berkata apa-apa lagi, aku benar-benar bersyukur memiliki kakak sepertinya.

     " Sekarang lebih baik kamu makan, tante Inggrid sudah masak menu kesukaan kamu. Sebentar yah mba ambilin." Katanya seraya bangkit menuju pintu tapi langkahnya terhenti mendengar ucapanku.

     " Ayah... apa Ayah tak mau menemuiku..? Dia pasti menyesal punya anak sepertiku." Gumamku. Satahuku tadi Ayah yang menolongku keluar dari kamar mandi, tapi kenapa setelah aku sadar dia sama sekali tak menemuiku dan menanyakan keadaanku.

mba Dira berbalik badan dan tersenyum " kata siapa Ayah tak mau menemuimu? asal kamu tahu Diz, setiap malam setelah kamu tidur Ayah selalu mendatangi kamu dan menemanimu sampai dini hari. Beliau sama hancurnya seperti kamu, dia bahkan menyalahkan dirinya atas peristiwa ini karena tidak bisa melindungi kamu dari cowok brengsek seperti Aris. Percaya sama mba, Ayah tidak pernah menyesali keberadaan kita apalagi kamu, sikap tegasnya selama ini adalah bentuk kasih sayangnya pada anak-anaknya. " jelas mba Dira panjang lebar sebelum berlalu meninggalkan kamarku.

Ayah.... Ayah.... Ayah....

Aku hanya bisa memanggil namanya dengan perasaan bersalah yang teramat dalam. Aku sudah durhaka padanya selama ini, kata 'Ayah bangga padamu' yang dulu selalu dikatakannya saat aku masih kecil pasti akan ditariknya kembali. Kini... apa yang bisa dibanggakan dari anak durhaka sepertiku terlebih sekarang keadaanku yang sudah kotor. Aku sudah tidak punya masa depan, mungkin inilah karma yang harus kuterima atas sikap-sikapku yang buruk selama ini.

Menyedihkan.

TbC

Makin gaje, aku yakin feelnya ga dapet disini. Aku ngga bisa gambarin gimana perasaan dan keadaan korban pemerkosaan. Jadi tolong dimaafken,, hanya ini batas kemampuan saya dalam menulis. Semoga masih bisa ngelanjutin nih cerita, yahhh walaupun ngga ada yang baca, hehehe

Salam,
Arfah_Lee

GadizaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang