Mengandung typo
||Dorr....
Dorr....
Dorrr...Tembakan itu terdengar nyaring disebuah dimarkas yang jauh dari pusat kota.
Varo berlari kedalam markas, dan benar saja disana ada puluhan bawahan Finger Blood yang sedang menyerang bawahan Varo, dengan gerakan cepat Varo mengeluarkan dua pistol dari saku jasnya, ia menebak para anggota Finger Blood dari belakang.
Dorr....
Dorrr....
Dorr....
Dorrr....Sebagian anggota Finger Blood berjatuhan kelantai, mereka berbalik menembak Varo, hingga tak sengaja sebuah peluru mengenai perut kiri Varo.
"Akhhh, shitt," Varo tak memperdulikan darah yang merembes keluar dari bajunya.
Dorr....
Dorr...
Dorrr...Varo menembak mereka dengan ganas, berani-beraninya mereka melukai dirinya.
"Tembak mereka sampai mati," teriak Varo.
"Baik bos," mereka kemudian menembak anggota Finger Blood. Varo juga melepas tembakan keseluruh musuhnya, hingga tak ada yang tersisa.
"Arghhh," pekik Varo ketika ia merasakan nyeri dibagian perutnya.
"Boss," bawahan Varo panik ketika bos mereka terluka.
"Amankan semua, bakar mayat mereka," titah Varo, ia kemudian berjalan keluar dari markas, ia akan pulang.
"Aron," panggil Varo.
Aron yang dipanggil lantas mendekat kearah bosnya. "Iya bos."
"Bawa mobil," Aron yang mengerti maksud bosnya, langsung membukakan pintu mobil untuk Varo. Varo masuk kedalam mobil disusul oleh Aron yang duduk dikursi kemudi.
Aron melajukan mobil Varo meninggalkan area markas, dijalan tidak henti-hentinya Aron menatap bosnya melalui kaca depan.
"Bos luka anda," ucap Aron, dia adalah tipikal bawahan yang panikan.
"Ini tidak sakit, jangan banyak bicara atau kupotong bibirmu," Aron yang mendengar perkataan sadis bosnya, langsung memegang bibirnya.
Setelah menempuh perjalanan selama 1 jam akhirnya Varo sampai dirumahnya, ia keluar dari mobil seraya memegang perutnya yang masih mengeluarkan darah. Dan tak disangka-sangka ternyata didepan rumahnya ada Tristan dan Rainer.
"Var," sama halnya dengan Aron yang panik, kedua manusia itu juga ikut panik ketika sahabat mereka memegang sebelah perutnya dengan darah yang masih keluar.
"Bodoh, kau cih, Aron panggilkan dokter," titah Rainer pada Aron.
"Baik," Aron kemudian menelfon dokter pribadi Varo. Tristan dan Rainer memapah Varo masuk kedalam rumah, dan membaringkannya disofa.
"Pantas saja kami kesini, dan kau tidak ada," ucap Tristan. Varo memutar malas kedua matanya, bukankah mereka terlalu lebay.
"Cih, ini hal biasa," kata Varo.
"Yap hal biasa jika kau langsung mati," seru Reiner.
Varo mempelototi Rainer. "Dan aku mendoakan ku agar mati."
"Maaf tuan saya terlambat," ucap seorang dokter yang baru saja memasuki rumah Varo dengan tergesa-gesa.
"Kau, cabut peluru yang berada diperutku," titah Varo pada Dokter Erinia.
"Baik tuan," seperti biasa Dokter Erinia akan mengeluarkan peluru dibadan Varo tanpa bius.
Dokter Erinia mulai, mengangkat baju yang dikenakan Varo, ia mengambil peralatan untuk mengeluarkan peluru itu, dan untung saja peluru itu tidak tertancap dalam.
Dengan perlahan Dokter Erinia mengeluarkan peluru itu, sesekali Varo meringis, Tristan dan Rainer menatap ngeri kearah Varo, apa manusia satu itu tak punya rasa sakit, takut atau sebagainnya. Dalam keadaan seperti itu ia sama sekali tak ingin dibius, atau diberi cairan penghilang rasa sakit.
"Dia yang ditertembak, aku yang ngeri," kata Reiner.
"Kau ngeri melihat ini, namun kau tidak ngeri saat menebas kepala Osman," ucap Tristan, mereka memang anggota mafia sama seperti Varo, tapi mereka lebih santay dibandingkan Varo, yang harus menjaga kunci itu sampai waktu yang tidak ditentukan.
"Sudah selesai tuan," Dokter Erinia sudah membersihkan, dan mengeluarkan peluru itu, tak lupa juga ia membalut luka Varo.
"Hem," Varo hanya berdehem menanggapinya.
"saya permisi tuan," Dokter Erinia kemudian berjalan keluar dari rumah Varo, ia akan kembali kerumah sakit tempatnya bekerja.
"Apa sakit?" Tanya Rainer.
"Tida...." Seketika sebuah ide terlintas dipikirannya.
Ia menatap kedua temannya. "Telfon Aksel, dan katakan aku sedang sekarat," titah Varo.
Mereka menatap aneh kearah Varo. "Hei apa maksudmu?" Tanya Tristan.
"Kau telfon Aksel, katakan aku sedangs sekarat, sebentar lagi akan mati dan membutuhkan Aira sekarang," ucap Varo.
"Alasan apa itu, sangat tidak logis," kata Rainer, ia tidak mengerti dengan Varo sekarang.
"Cepat, aku tidak punya banyak waktu," kata Varo.
Dengan perasaan dongkol, Tristan menelfon Aksel.
"Halo, Varo sedang sekarat," Tristan mencoba berbicara seperti orang panik.
"Apa yang kau katakan?" Tanya Aksel disebrang sana.
"Varo terkena tembakan dijantungnya, dan dia sedang sekarat."
"Siapa yang melakukannya," geram Aksel disebrang sana.
"Kami tidak tau, cepatlah kesini, dan bawa Aira ia ingin bertemu untuk yang terkahir kalinya," entah mengapa kebohongan mereka sangat tidak jelas.
Tut....
Tristan mematikan sambungan telfonnya, dan menatap pada kedua temannya itu. "Mengapa kalian menatapku seperti itu?" Tanyanya.
"Kau bilang, dia terkena tembakan dijantungnya, ku pastikan dia sudah mati ditempat," kata Rainer.
"Jika aku mengatakan dia terkena tembakan diperutnya, Aksel akan mengatakan kalian bawa saja kerumah sakit," jelas Tristan. Mereka mengingat kembali dimana saat itu Varo terkena tembakan diperutnya, Aksel hanya mengatakan "dia tidak akan mati, bawa saja ke rumah sakit".
Disisi lain Aksel sedang berfikir keras untuk apa dia membawa Aira, sementara yang sedang sekarat adalah Varo.
Next...
Jangan lupa vote and commen...
Gasskeunn 🐘💨
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LEADER OF MAFIA ✓
AcciónTERBIT--- Aira Kenza Liona pemimpin mafia terbesar di Negaranya, karena kesalahan satu malam-tiga tahun yang lalu, mengharuskannya menjadi seorang ibu tunggal diusia yang masih terbilang sangat muda. Alvin Graha Lionel anak berusia tiga tahun, mempu...