Sudah seminggu ini mimpi itu terus terulang.
Diawali dengan kabut yang tebal, setelah itu perlahan pemandangan di depan mataku menjadi jelas, tampak sebuah kawah yang sangat luas dengan rumput yang berwarna hijau segar.
Tapi, yang menjadi pusat perhatianku adalah pohon besar yang berada di tengah-tengah kawah. Sungguh besar bentuknya, seperti hampir menyentuh langit. Dengan sulur-sulur yang sangat berantakan, menambah kesan menyeramkan pada pohon itu.
Daunnya berwarna transparan, seperti daun yang sudah di awetkan dan tinggal tulang daunnya saja, di batang pohonnya ada banyak lubang kecil. Tidak ada buah apapun di sana, hanya ada daun dan sulur yang seperti tulang-tulang halus.
Setiap kali aku mencoba memegang pohon itu, angin besar langsung menyapu badanku, membawaku terbang berguling-guling dan lalu terbangun dari mimpi.
Setiap kali mimpiku berakhir seperti itu, namun semalam berbeda, aku sempat memegang pohon itu, hangat seperti badan manusia.
Dan aku terbangun saat tanganku seperti digigit sesuatu saat aku mencoba memasukkan tanganku ke dalam lubang kecil yang ada di batang pohon.
“Turun makan atau kubuang sarapan mu, monyet!”
Itu teriakan ibu tiriku, semenjak ayahku meninggal, dia selalu memanggilku monyet, untung saja dia tidak sempat punya anak dari ayahku, kalau tidak pasti hidupku akan lebih kacau lagi.
Setiap pagi dia hanya memberiku makan pisang, tanpa susu tentunya.
Sesudah itu aku harus membereskan semua kerjaan rumah dan memasak untuknya siang dan malam.Oh ya, usiaku baru 13 tahun, dan aku tidak bersekolah lagi sejak ayahku meninggal, kehidupan kami langsung merosot secara ekonomi, aku terpaksa putus sekolah.
Ibu tiriku menjahit untuk biaya hidup kami sehari-hari.
Hari ini aku disuruh ke hutan mengambil daun pisang, jika bisa terkumpul banyak dan dijual, uangnya bisa untuk membeli lauk yang sedikit lebih enak dari biasanya.
Seharusnya hutan yang kumasuki ini adalah hutan yang seperti biasanya, hanya saja hari ini terasa aneh, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 10 siang, tapi mendadak hutan terasa dingin dan memutih.
Sangat putih, hampir membuatku tidak bisa melihat apapun.
Mendadak aku teringat pemandangan di mimpiku, bukankah ini penglihatan yang sama?
Dan benar saja, ketika kabut perlahan hilang, kawah dengan pohon besar itulah yang muncul di hadapanku.
“Ayo!”
Tiba-tiba saja banyak makhluk kecil menarikku untuk mendekati pohon besar yang ada di tengah.
“Namamu siapa?” tanya salah satu dari mereka.
Ada seekor- ntah apa namanya, punya kepala lancip seperti bentuk bunga yang masih kuncup, berbadan panjang seperti buah timun, kemudian ada sepasang tangan, kaki dan sayap. Sayapnya sama dengan daun pohon di belakangnya, transparan dengan tulang-tulang halus. Ukuran mereka sepertinya hanya 10cm.
“Ayo jawab!” kali ini mereka semua ikut serempak berbicara.
Mereka banyak sekali.
“Namaku Monet.”
“Monyet?” tanya makhluk yang paling dekat sama wajahku.
Wajah mereka aneh, kedua matanya besar, hampir setengah wajah mereka terisi dengan mata, tidak ada hidung, lalu mulutnya kecil dan berwarna merah.
“Namaku Monet.” ulangku setengah berteriak.
“Kau sudah sering ke sini.” Makhluk yang tadi bertanya namaku berbicara lagi, sepertinya dia pimpinan para makhluk kecil ini, soalnya cuma dia yang pakai baju, seperti daun. Soalnya yang lain menyerupai timun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Ketika Aku di Sini
FantasyKumpulan cerpen ini saya buat selama 30 hari ke depan dalam memenuhi tantangan menulis #30harikonsistenmenulis Semua cerita yang ada adalah bagian dari kerajaan khayalku yang ingin kubagikan kepada semuanya. Btw, judul mana yang paling kalian suka d...