WAJAH TERAKHIR

17 8 5
                                    

Pekerjaan yang berhubungan dengan mayat bukan sesuatu yang indah untuk diceritakan. Pak Surya sudah berhenti dari sana setahun yang lalu, tapi kisah terakhir yang dia alami masih sering muncul di mimpinya.

Selalu ada kisah menyedihkan yang mengikuti kematian seseorang, tapi bagi Pak Surya kematian seorang anak adalah cerita yang paling menyentuh hatinya. Karena rata-rata orang tua tidak dapat menerima kenyataan itu terutama seorang Ibu.

Hari itu mereka kedatangan mayat baru, seorang bocah laki-laki berusia 10 tahun. Divonis meninggal setelah gagal diselamatkan di meja operasi.

Seperti layaknya mayat pada umumnya, tubuh mereka ditempatkan di ruang penyimpanan mayat dengan banyak loker berbentuk laci panjang. Ruangan itu memiliki pendingin yang gunanya untuk menunda dekomposisi atau pembusukan.

Mayat anak kecil tadi untuk sementara disimpan di sana sambil menunggu pemindahan untuk di otopsi. Karena orang tuanya menduga ada tindakan malpraktek yang menyebabkan anak mereka meninggal.

Pak Surya ingat betul, hari itu masih jam 3 pagi, temannya menggedor kamarnya. Memaksanya untuk bangun.

"Apaan sih? Saya baru tidur jam 1 tadi." ucap Pak Surya dengan gusar saat membuka pintu kamarnya.

"Tolong bantu kami!" seru Pak Doni.

"Tapi kan pagi ini bukan sift saya, kenapa tidak panggil yang bertugas."
Pak Surya enggan beranjak dari kamarnya namun Pak Doni langsung menariknya dengan paksa, "Sudah! Ikut saja karena kamu yang terakhir melihat mayat anak tadi."

"Maksudmu?" Pak Surya menampik tangan kawannya itu.

"Di ruang depan sedang ribut, Ibunya si anak datang subuh-subuh gini minta anaknya dikeluarkan, karena dia percaya anaknya belum meninggal."

Pak Surya mendengus kesal, "Lagi-lagi!? Bikin repot saja. Jelas-jelas anaknya sudah meninggal, saya lihat sendiri wajah terakhirnya." Pak Surya melangkah dengan kesal mengikuti Pak Doni dari samping.

Sesampainya ia di ruang depan, tampak seorang ibu tengah ditahan oleh 2 orang suster.

"Ibu tenang dulu," mereka berusaha membujuknya. "Nanti kami antar ke sana, tunggu petugasnya yah."

"Ayo cepat, dia kedinginan!" teriak si ibu sambil berusaha melepaskan tangan suster di lengannya.

Pak Surya mempercepat langkahnya. "Selamat pagi suster." sapanya.

"Bagus Anda ke sini, ini Ibu dari anak yang terakhir masuk."

"Selamatkan anakku!" Raut wajah ibu itu pucat, matanya merah karena menangis.

"Cepat! Selamatkan anakku!" ulangnya sambil mengguncang tangan Pak Surya.

"Tapi adek sudah meninggal, Bu."

"Tidak!" teriak si ibu histeris.

Buru-buru Pak Doni menarik Pak Surya dan berbisik. "Sudah, antarkan saja, nanti semakin banyak pasien yang terganggu."

"Baik baik!" jawab Pak Surya sedikit kesal, "Ayo ikut saya."

"Ibu harus tabah," Pak Surya mencoba menenangkan si ibu selama perjalanan menuju kamar mayat.

"Saya yang memasukkan adek ke dalam, raut wajahnya sudah tenang seperti sedang tidur. Ibu bisa bacakan doa supaya adek tenang di sana."

"Kamu tidak mengerti." Mendadak lagi-lagi si ibu berteriak.

"Baik baik, tolong pelankan suaranya, Bu."

"Anak saya masih hidup," si ibu menangis dengan histeris, "Dia datang ke minpi saya, dia minta dikeluarkan dari dalam sana, dingin katanya."

Pak Surya hanya menggeleng pelan, sebenarnya ini adalah reaksi wajar saat seorang ibu belum bisa menerima kenyataan bahwa anaknya telah meninggal. Tapi bakal jadi merepotkan kalau setiap kasus harus begini solusinya.

Sesampainya mereka di sana, Pak Surya menunjuk ke salah satu loker tempat penyimpanan mayat si anak.

"Cepat!" tampak si ibu sudah sangat tidak sabar.

"Mohon tenang ya, Bu. Silahkan mundur sebentar." ucap Pak Surya sebelum menarik loker tersebut.

Mereka berdua sontak tercengang saat mayat si anak di tarik keluar, Pak Surya tidak bisa berhenti menatap wajah si anak.

Jelas-jelas sewaktu dia memasukkannya tadi, mata si anak terpejam dan badannya sudah diposisikan dengan rapi.

Tapi yang mereka lihat sekarang, mata si anak melotot, sebelah tangannya memegang leher dan tangan lainnya kaku menghadap ke atas.

Si ibu tak kuasa menangis memeluk mayat anaknya, "Ibu datang terlambat, maafkan Ibu.... Maafkan Ibu.... Ibu terlambat menyelamatkanmu, nak!" teriak histeris si ibu menggema di kamar mayat itu.

Pak Surya masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Dia ingat dengan jelas wajah terakhir si anak sebelum dimasukkan ke dalam loker pendingin tidak seperti ini.

-End-

Cerita Ketika Aku di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang