Setahun yang lalu aku punya semuanya. Badan atletis, menjadi idaman teman cewek di sekolah, bintang sepak bola, murid populer dan tentu saja punya banyak teman.
Sekarang? Aku merasa hancur dengan kondisi ini.
Malam itu saat pulang dari latihan sepak bola, ada sebuah mobil yang melaju sangat kencang dan masuk jalur trotoar.
Mobil itu menghantamku dengan keras tanpa peringatan sama sekali, setelahnya aku tahu kalau saat itu pengemudinya dalam kondisi mabuk.
Saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit dengan kondisi kedua kakiku lumpuh.
Aku hampir gila menerima semua ini, bagaimana bisa? Kenapa aku? Ini masa hidupku yang paling bersinar, bayangkan usiaku baru 17 tahun, bukankah ini seharusnya menjadi surganya anak muda?
Aku mengutuk semua yang ada, aku meminta terapi yang paling mahal pada orang tuaku, tapi itu semua tidak ada gunanya.
Setahun aku terjebak di kursi roda orang cacat ini dan aku masih MARAH.
Temanku satu per satu menghilang, aku menjadi orang yang membosankan dan pemarah.
Ada uang pun percuma jika tidak bisa hangout bersama. Aku tidak mau lagi pergi ke sekolah yang dulu, aku memilih home schooling.
Aku tidak tahan menerima semua tatapan yang bagai pisau menusukku perlahan.
Beberapa kali terbesit olehku untuk mengakhiri hidup ini, untuk apa aku hidup? Aku gak bisa ngapa-ngapain sekarang. Mau kemana-mana pun sulit, rasa percaya diriku serasa menguap tak berbekas.
Kesedihanku memuncak saat melihat blog sekolahku yang dulu memposting video pertandingan sepak bola.
Teman-temanku bermain dengan apik, mereka berlari, menggiring bola, menendang bola.
Aku iri, sangat iri! Kutatap kedua kakiku yang membeku, bak mayat tak bisa digerakkan.
Kulempar laptop itu ke kasur. Aku tidak tahan lagi. Aku ingin mati.
Kugerakkan tuas yang ada di sebelah tangan kananku, aku ingin cepat keluar dari rumah ini, kenapa kecelakaan setahun yang lalu tidak mencabut nyawaku saja? Kenapa aku dibiarkan menjadi sosok setangah mayat seperti ini? Gerutuku dalam hati.
“Deva,” panggil Mama dari belakangku “Kamu mau jalan-jalan keluar?” tanyanya menghampiriku.
“Iya Ma.” jawabku acuh.
“Mama temani ya.” pintanya sambil tersenyum.
“Gak usah Ma, Deva hanya ingin jalan-jalan seputaran komplek kok.”
“Kalau begitu sebentar,” mama berjalan cepat masuk ke kamarnya dan keluar dengan membawa lembaran uang seratus ribuan di tangannya.
“Nih, siapa tau nanti kamu mau mampir beli sesuatu.”
Kutatap uang itu, sepertinya ada sekitar tujuh ratus atau mungkin satu juta. Aku tidak tertarik, sejak aku menjadi orang cacat, orang tuaku bahkan rela kalau aku menghabiskan puluhan juta dalam sehari.
Kuambil uang itu dari tangannya, “Makasih Ma.” ucapku kemudian tersenyum tipis memandang dirinya.
Kuselipkan uang itu dikantong baju hodieku. Mama membantu mendorong kursiku sampai ke teras depan.
“Aku pergi dulu.” pamitku tanpa melihat ke arahnya lagi.
Aku takut kalau nyaliku akan ciut. Apa kamu pikir aku tidak sedih meninggalkan mereka? Tentu saja aku sedih. Tapi setiap hari dipenuhi kemarahan seperti ini sama saja membunuhku dari dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Ketika Aku di Sini
FantasyKumpulan cerpen ini saya buat selama 30 hari ke depan dalam memenuhi tantangan menulis #30harikonsistenmenulis Semua cerita yang ada adalah bagian dari kerajaan khayalku yang ingin kubagikan kepada semuanya. Btw, judul mana yang paling kalian suka d...