RUMAH KERTAS

27 12 0
                                    

Ingin rasanya kubuang kertas cek yang ada di tanganku sekarang, mereka pikir kami ini apa?

Kami hanya akan hidup kalau diberi makan dan tanpa kasih sayang?

Waktu kupandangi cek itu tiba-tiba Eri masuk ke kamarku.

Dia adikku, kami selisih 6 tahun, dia baru masuk kelas TK Besar waktu orang tua kami bercerai dan itu sudah sebulan yang lalu, sekarang kami tinggal dengan nenek.

Walau kami memiliki ciri fisik yang sama; hidung mancung, rambut hitam berombak. Tapi, sifat kami sangatlah beda, aku dibilang sebagai anak yang sangat keras kepala sedangkan Eri anak yang penurut.

“Kata Nenek, aku dapat surat dari Papa ya, Kak?” tanyanya.

“Iya, mau kubacakan?” tawarku.

“Aku baca sendiri saja deh.” Diusianya yang sekarang, dia sudah bisa membaca kalimat walau pelan-pelan.

“Nih.” Kuserahkan surat itu padanya.

“Aku keluar dulu ya, Kak.” katanya sambil tersenyum.

Tak berapa lama kudengar nenek memanggilku.

“Ada apa, Nek? Tidak bersama Eri ?” tanyaku.

“Nenek baru saja dari belakang, dia terlihat senang menerima surat itu, tapi Nenek khawatir sama kamu.” ucapnya. Nenekku ini Ibunya mama.

“Aku baik-baik saja kok, Nek.” jawabku sambil merangkul tangannya.

Kemudian kami berjalan ke halaman belakang, Eri duduk di ayunannya sambil membaca surat itu. Begitu melihat kami, Eri langsung berlari ke arahku.

“Kak, Papa bilang hari Minggu besok mau ajak kita jalan-jalan.” ucapnya girang.

Aku hanya tersenyum tanpa menjawab apapun.

“Papa bilang akan menjemput kita jam 10 pagi, terus makan siangnya sama-sama.” lanjutnya.

“Nenek ikut?” tanyaku sambil memandang wajahnya.

“Tidak, kalian saja, nanti kalau Nenek capek malah merepotkan kalian.” jawabnya sambil tertawa.

“Iya ya.” Lalu aku pun ikut tertawa. Setidaknya hari ini Eri bahagia, itu yang kupikirkan.

Malam harinya aku tidak bisa tidur, akhirnya kuputuskan untuk keluar kamar.

Aku bertemu nenek dan dia mengikutiku ke ruang tengah. Aku menyalakan tv, kemudian sambil duduk di sebelahku nenek mulai berbicara.

“Kok belum tidur? Eri saja sudah tidur, ada apa?” tanyanya pelan.

“Nenek sendiri kok belum tidur? Sudah jam 10 lho.” kataku sambil tersenyum memandang wajahnya.

“Nenek tahu kamu tidak bahagia sejak perceraian orang tuamu. Kamu masih marah pada mereka ya?” tanya Nenek tanpa menjawab pertanyaanku tadi.

“Aku tidak tahu, soalnya aku tidak mengerti kenapa orang dewasa itu bisa bersikap egois seperti ini.” jawabku sambil terus memandang ke arah tv.

“Kamu cucu Nenek yang baik.” tuturnya lembut sambil mengusap pelan kepalaku.

“Menurut Nenek mereka sudah berpikir ribuan kali baru bisa memutuskan jalan ini, tidak ada orang yang punya impian untuk berpisah, baik sama pasangannya terlebih sama anak-anaknya.” jelas Nenek.

“Ada hal yang tidak bisa berjalan sesuai keinginan kita, satu-satunya cara agar kita bahagia adalah kalau kita bisa berlapang dada menerima semua ini.” lanjutnya.

“Aku tahu.” jawabku pendek.

Dalam hati aku sungguh berharap bisa melakukan seperti yang nenek katakan, tapi mungkin masih butuh waktu.

Cerita Ketika Aku di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang