AKU BUKAN PSIKOPAT

7 3 0
                                    

Aku bukan orang yang mudah berteman, mereka selalu menyisakan aku kala bermain, mereka tidak pernah mengajakku saat ada pesta ulang tahun teman sekelas.

Kata mereka aku aneh, semua bermula saat kami masih SD. Hanya karena aku berani memegang tikus, membedah tubuh ikan, memgeringkan kulit bekas luka. Dan hanya aku, siswi cewek kelas 6 yang berani menggendong ular saat kunjungan sekolah ke kebun binatang.

Cerita itu selalu diulang bahkan saat kami sudah kelas 3 SMP. Bagi mereka semakin dewasa itu artinya mereka harus semakin jijik dengan serangga.

Seakan-akan itu membuat mereka tampak imut dan normal.

Bahkan saat ada siswa baru, mereka dengan senang hati memperkenalkan diriku layaknya aku adalah maskot sekolah.

Cewek aneh yang bau. Itu julukan mereka untukku. Sebutan bau itu muncul karena menurut mereka semua hewan yang kupegang itu bau.

Hanya ada satu teman yang masih suka menyapaku, dia anak baru, kata dia aku tidak aneh.

Aku senang sekali.

Pasti dia akan menjadi teman terbaikku, aku selalu membayangkan setiap hari kami pulang sekolah bersama. Lalu kami akan mampir belanja bersama, makan di cafe bersama. Atau membuat coklat bersama untuk hari valentine.

Bahkan baru-baru ini dia memberiku sebuah pensil mekanik, kata dia pensil itu bukti persahabatan kami.

Punya dia warna pink dan punyaku warna merah. Kata dia warna merah cocok untukku.

Aku senang sekali.

Kalau kuingat-ingat sudah ada 5 kali dia mentraktirku makan. Dia suka mengajakku ke cafe, dia bilang makanan di sana enak. Padahal sebenarnya dia naksir sama salah satu pegawai di sana.

Aku senang dia mau berbagi rahasianya padaku.

Barang kedua yang dia kasih adalah penggaris. Kali ini bentuk dan warnanya sama semua. Kami seperti kembar. Dia berpesan agar penggaris ini jangan sampai hilang, aku harus menjaganya dengan baik. Jangan sampai patah.

Aku selalu menjaga semua barang pemberiannya.

Tapi suatu hari aku melihat dia memberikan penggarisnya ke teman yang lain, saat aku tanya dia bilang dia sudah bosan dengan model itu.

Aku sedih. Tapi tak apalah, karena masih ada pensil mekanik yang menjadi tanda kami adalah sahabat.

Suatu hari saat aku mampir ke toko buku, aku melihat kertas surat yang sangat bagus. Aku teringat padanya. Pasti akan seru jika kita surat-suratan dengan kertas itu.

Akhirnya aku membeli 2 bungkus kertas surat itu. Esoknya aku memberinya sebungkus.

Dia terlihat gembira, kami berjanji akan menulis surat setiap hari.
Membayangkannya saja sudah membuatku senang bukan main.

Saat kertas surat kami habis, aku mengajaknya ke toko buku tapi dia tidak mau, dia bilang dia mau ke cafe, ada temannya yang ultah dan mereka mau makan-makan di sana.

Di lain hari, saat aku bertanya tentang pensil mekanik kami, dia bilang punya dia sudah lama hilang.

Aku sedih.

Dia berubah, sekarang dia lebih banyak menghabiskan waktu mainnya dengan teman yang lain. Temanya yang sekarang  adalah mereka yang biasa meledekku dari belakang.

Aku sedih.

Aku pikir aku harus memperbaiki ini, jangan-jangan aku pernah berbuat salah dan menyinggung perasaannya.

Di jam istirahat terakhir, aku mengajaknya bertemu di belakang sekolah, aku mau minta maaf jika memang aku ada salah. Tapi kenapa dia malah datang bersama teman-teman yang lain.

Yang lebih membuatku kecewa, mereka semua membaca suratku yang kutulis untuk dia.

Mereka mengolok-olok isi suratku. Mereka tertawa melihatku yang malu dan menangis.

"Aku capek berteman denganmu." Itu ucapan terakhirnya sebelum pergi.

Mereka membuang surat-suratku ke dalam tong sampah. Mereka tertawa melihatku menangis.

Selama seminggu aku takut kembali ke sekolah, setiap membayangkan wajah mereka yang tertawa, aku sangat tersiksa.

"Hei! Kamu masih mendengar ceritaku gak?" teriakku menyiram kepala sahabat terbaikku dengan air dingin.

Dia mengerang berusaha melepaskan ikatan di tangannya.

"Kenapa? Apa salahku?" tanyaku menjambak rambutnya.

Aku senang melihat raut wajahnya sekarang, dia menangis, sama sepertiku waktu itu.

"Lepaskan aku, kamu gila!" ucapnya dengan geram.

"Padahal aku sangat gembira saat bertemu kamu, kita sering menghabiskan waktu bersama. Apa kamu lupa?" Aku menarik lebih kencang rambutnya sampai dia berteriak kesakitan.

"Lepaskan aku!" teriaknya lagi.

Aku mengambil jarum yang sudah ada benangnya, "Mulutmu aku jahit ya." ucapku pelan.

"Aku tidak suka kamu marah-marah seperti tadi." lanjutku.

"Jangan!" teriaknya, matanya melotot, cantik sekali.

Aku senang.

"Aku akan melakukan dengan perlahan supaya tidak banyak darah yang keluar, aku juga bawa alkohol. Lihat!" Aku mendekatkan botol itu ke wajahnya.

"Aku minta maaf, tolong lepaskan aku." rengeknya.

Aku mendesah bosan, "Ngomongnya itu-itu Mulu." Aku mulai menuang alkohol ke kapas.

Aku menjambak rambutnya dengan kencang supaya dia tak banyak bergerak.

Aku mengikat dahinya di satu tiang, supaya ruang geraknya semakin kecil.
Aku juga mengikat lehernya pada tiang yang sama.

Seerat mungkin.

"Kamu jangan banyak bergerak, aku takut kamu mati." Tarikku dengan kuat. Kudengar dia terbatuk.

Mukanya membiru, matanya melotot, air matanya tak berhenti mengalir, "Kamu jorok." tawaku saat melihat air liurnya menetes bak anjing.

"Aku mulai ya." Aku menusukkan jarum itu ke bibirnya yang indah.

Dia mengerang, menendang, bola matanya seperti hampir keluar semua.

"Tenang sedikit, ini hanya supaya kamu diam." Aku tersenyum dan mulai menarik benang itu pelan-pelan menembus kulitnya.

"Makanya kenapa tidak berteman baik-baik denganku? Aku dulu kan sudah bilang, mereka salah! Aku bukan psikopat!"

Sesaat dia terdiam. Matanya terpejam, dia tak bergerak. Aku mengelus pelan pipinya.
"Nah, begini kan bagus. Aku lebih gampang menjahitnya."

-End-

Cerita Ketika Aku di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang