JATI DIRI

10 6 1
                                    

Waktu aku kecil, aku pernah nonton sebuah film yang sangat indah ceritanya. Tentang seorang pria yang sangat mencintai wanitanya, yang berkesan untukku adalah usia mereka yang terpaut sangat jauh.

Umur dewasa itulah yang membuat si pria tampak terhormat, santun dan berwibawa dalam memperlakukan si wanita. Sejak itu, aku ingin punya pacar seperti itu, sosok yang jauh lebih dewasa dariku.

Sewaktu aku kelas 10, aku berkenalan dengan seorang cowok di toko roti langganan ibuku. Dia pegawai baru di sana. Orangnya tampan dan sikapnya sangat dewasa ketika melayani pembeli.

Aku rasa aku sudah menemukan yang aku cari, bayanganku dia pasti anak SMU atau mahasiswa yang bekerja part time.

Badannya tegap dan tinggi, bahkan toko roti itu menjadi ramai karena banyak cewek yang mampir ke sana.

Saking penasaran dan ingin mengenalnya lebih jauh, aku bilang pada ibuku supaya Sabtu dan Minggu aku diperbolehkan bantu-bantu di sana. Gak dibayar juga tidak masalah.

Karena pemiliknya sahabatan sama ibuku, dia mengijinkanku bekerja di sana kalau hari Minggu. Biar kata cuma sehari, tapi aku senang banget.

Orangnya asik, diajak bercanda apa saja dia bisa ngikutin, tapi yang paling aku suka adalah sikap dewasanya. Bawaannya tenang membuatku nyaman di sampingnya. Namun aku belum berani bertanya berapa usianya.

Setelah sebulan berlalu, akhirnya aku mantapkan tekad, aku harus menyatakan perasaanku. Daripada keduluan cewek lain, soalnya banyak banget yang suka sama dia.

Waktu pulang kerja aku sengaja menunggunya di belakang toko, hari ini dia terakhir pulangnya karena harus membereskan sampah.

Menunggu di belakang pada jam segini sangat tidak nyaman, apalagi aku melihat di mulut gang ada 3 cowok dan 1 cewek yang sedang merokok.

Mendadak aku ingin buang air. Sempat galau beberapa saat, akhirnya aku masuk kembali ke dalam toko dengan diam-diam. Sepertinya sih tidak ketahuan.

Tak berapa lama, aku mendengar beberapa suara.

“Lama sekali sih.” ada suara perempuan, siapa ya? Apa kenalan dia?

“Anji***, cepetan!” teriak seorang lelaki tertawa.

“Sial! Ngapain kalian ke sini? Sana keluar, pekerjaanku bentar lagi beres.”

“Cepat ya sayang.” terdengar suara manja si cewek.

Apakah mereka orang-orang yang berdiri di mulut gang tadi?
Aku ketahuan saat dia menutup lampu kamar mandi, mau tidak mau aku keluar dari sana.

“Hana...” Dia terkejut melihatku.

“Eng- maaf, tadi aku- ”

“Kalian keluar dulu deh, nanti aku nyusul.” ucapnya kepada mereka.

“Okay.” Cewek itu mencium pipinya dengan manja dan keluar.

“Siapa mereka?” tanyaku gugup.

“Cuma teman, jangan cerita ini ke Bibi ya! Aku butuh pekerjaan ini.” Dia menjawab dengan pelan namun menatapku dengan serius, seakan-akan mengancamku.

Sosoknya berbeda dengan biasanya. Tanpa sadar aku mengangguk ketakutan.

“Bagus.” dia menepuk pelan kepalaku.

“Keluarlah, aku mau mengunci pintu!” serunya sambil melempar dagu seakan memberiku isyarat untuk segera pergi.

Sesampainya di luar, aku bertemu dengan teman-temannya tadi.

“Kelas berapa kamu adik kecil?” salah satu dari cowok itu mendekatiku, mulutnya bau rokok dan mereka terlihat menakutkan. Seperti berandalan yang ada di film-film.

“Gak usah ditanggapi, mending kamu cepat pulang sebelum ketemu penculik.” Seru cowok yang lain, menyeringai, menatapku dengan tajam.

Aku takut.

“Hei! Jangan ganggu dia!” si cewek tersenyum melihatku.

Aku segera berlari dari situ. Mereka semua memang terlihat lebih dewasa tapi mereka menakutkan. Aku tidak suka.

Esoknya aku bilang ke ibu kalau aku tidak mau lagi kerja di sana. Bayanganku tentang sosok cowok dewasa ternyata tidak seindah di film.

-End-

Cerita Ketika Aku di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang