EMBUN PERPISAHAN

12 7 1
                                    

Aku merapatkan jaket hodie di badanku, menatap nyalang langit gelap dari teras rumah. Berdiri di luar jam 4 subuh memang terasa dingin.

“Sudah semua?” tanya ayah yang berdiri di belakangku.

“Sudah.” jawabku menoleh padanya.

Ayah menarik koperku dan memasukkannya ke garasi mobil, saat aku mengalungkan tas selempangan di bahu, tiba-tiba ibu memelukku.

“Sering-sering telepon rumah ya.”

“Iya, Bu.” Aku mengelus pelan punggungnya.

“Benar tidak usah bangunin kakakmu?” tanya ibu melirik ke kamar kak Aji.

“Tidak usah, Bu.” Aku menggelang pelan, “Aku ke mobil ya, Bu. Takut kesiangan cek in.” Kemudian aku mencium tangannya dan memeluknya sekali lagi.

“Apa yang lucu?” tanya ayah saat melihatku masuk ke dalam mobil.

“Lucu?” tanyaku heran.

“Iya, kamu tersenyum sambil melihat ke kaki, ada apa?” tanya ayah sambil menjulurkan kepalanya untuk ikut melihat kakiku.

“Oh, tidak kok.” Aku menutup pintu mobil dan melambaikan tangan ke ibu.

“Hati-hati di jalan.” seru ibu berdiri di luar teras mengantar kepergianku.

Aku menatap embun yang menempel di kuku kakiku, perasaan kangen sekaligus sedih menyelimutiku sekarang.

Kalau lihat embun, aku ingat dia, dia yang mengajariku menempelkan embun di kuku saat kita jogging.

Kalau dengar lagu jazz di tape mobil seperti sekarang ini, aku ingat dia, kalau berada di rumah, aku ingat dia.

Iya, dialah Kak Aji, orang yang tak boleh aku cintai. Tapi, perasaan ini tak kunjung padam, tiga tahun terakhir perasaan ini semakin kuat. Makanya setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk kuliah di tempat lain.

Setidaknya kalau aku bisa menjauh darinya, jarak dan waktu bisa menghapus perasaanku padanya. Setidaknya itulah yang kuharapkan.

Aku tidak tahu bagaimana awalnya, hanya saja perasaan itu hadir begitu saja. Waktuku bersamanya menjadi indah dan aku selalu cemburu saat melihat dia dekat dengan teman wanitanya.

Aku sengaja memilih jadwal penerbangan pagi supaya bisa berangkat tanpa mengucapkan perpisahan padanya. Pasalnya sebulan yang lalu, aku nekat memberitahunya soal perasaanku.

“Kenapa Kakak lebih memilih dia? Arta pulangnya bakal malam, Kakak gak takut kalau Arta pulang sendirian?” tentu saja itu hanya alasanku. Aku egois, aku hanya ingin bersama Kak Aji, bukan wanita yang bernama Ica itu.

“Kan kamu bisa minta tolong Ayah, lagipula Ayah satu jalur nanti saat pulang kerja, Ayah bisa mampir jemput kamu.”

“Tapi Arta maunya Kak Aji yang jemput.” rengekku.

“Ya gak bisa gitu dong, aku sudah janji sama pacarku.” elaknya yang langsung membuat rasa cemburuku meledak.

“Dia gak cocok buat Kakak!” jeritku.

“Apaan sih! Memangnya kamu tahu apa?” hardiknya.

“Akhir-akhir ini kamu seperti sengaja deh, selalu mengganggu kencanku, kamu gak mau aku punya pacar ya?”

“Iya!” jawabku tertunduk.

Kak Aji mendesah lelah, dia mendekat dan memegang kedua bahuku. “Ada apa denganmu?” tanyanya menatapku serius.

“Aku suka sama Kak Aji.” Aku tidak bisa mengontrolnya lagi, kalimat itu keluar begitu saja.

“Apa kamu bilang?” tanya Aji seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

“Aku suka Kakak, hanya itu yang aku tahu, aku-

“Tunggu tunggu!” Aji buru-buru memotong perkataanku.

Dia melepas tangannya dari pundakku dan kali ini dia memegang keningnya dengan satu tangannya, “Kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan barusan, Ta? Suka yang kamu maksud itu seperti apa?”

“Ya... suka.. cinta Kak....” Jantungku berdegup kencang, bahkan sepertinya aku hampir menangis.

“Tapi kan- Ta! Kita itu kakak adik. Kamu gila ya?” teriaknya.

“Aku tahu, aku sudah berusaha selama 3 tahun ini untuk menghilangkan perasaan itu, tapi tidak bisa.” ucapku lirih sambil menangis.

Kak Aji menatapku dengan jijik, setelah itu dia berbalik, “Jangan temui aku!” itu kalimat terakhir Kak Aji sebelum keluar dari kamarku.

Setelah itu dia selalu menghindar jika berpapasan denganku di rumah.

Rumah yang tadinya membuatku bahagia karena ada sosoknya, kini menjadi sangat menyakitkan.

Hampir setiap malam aku menangis, sampai akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari rumah ini.

Lamunanku terhenti saat hpku bergetar, ada satu pesan tertoreh di sana. Dari Kak Aji.

“Selamat jalan, Ta. Hati-hati di jalan ya. Aku minta maaf kalau akhir-akhir ini aku bersikap kasar padamu. Kak Aji harap saat kita ketemu nanti, kamu sudah lebih dewasa dan hubungan kita bisa normal kayak dulu lagi.”

Aku buru-buru mengelap air mataku yang meluap, aku tidak mau ayah sampai melihatku menangis.

Lalu aku mengetik untuk membalas pesannya, “Arta juga minta maaf ya, Kak. Aku sayang Kakak.”

Aku menarik nafas panjang, aku tidak ingin menjelaskan apapun padanya sekarang selain perasaan sayangku padanya.

Setidaknya ini terakhir kalinya aku mengakui hal itu, semoga saat aku bertemu lagi dengannya suatu saat, aku bisa melihatnya sebagai seorang Kakak, tidak lebih!

-End-

Cerita Ketika Aku di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang