Ini cerita yang belum pernah kau ceritakan pada siapapun. Waktu itu aku baru pindah dari Medan ke Lampung, kalau kalian cari di peta tepatnya di ujung pulau Sumatra, kalian akan menemukan sebuah nama, Pringsewu.
Dulu waktu aku baru tiba di sana, tempatnya masih desa banget. Sekarang sih sudah jadi kabupaten, sudah banyak kemajuan.
Jadi ceritanya saat itu usiaku sekitar 13 tahun kelas 1 SMP. Lingkungan hidupku benar-benar berubah. Bayangin saja, waktu di Medan itu aku terbiasa tinggal di lingkungan perkotaan dan sekarang mendadak desa banget. Tidak susah untukku melihat gunung dan sawah. Yang tadinya pemandangan itu seakan-akan hanya ada di tv dan buku.
Aku mencoba beradaptasi di sekolah yang notabene anak-anaknya berdialog menggunakan bahasa jawa yang tidak kupahami artinya. Ada beberapa teman yang terpaksa berbicara bahasa Indonesia denganku.
Kisahku ini terjadi di jam pelajaran olah raga. Kalau di sekolahku dulu, yang namanya olah raga ya di lapangan sekolah tapi, di sini berbeda. Pagi itu guru olah raga menyuruh kami untuk lari marathon dengan rute di luar sekolah.
Anak-anak yang lain sih sudah terbiasa, kata teman sebangkuku memang begitu, kalau hanya lari keliling lapangan gak akan terasa yang namanya lari alias rutenya pendek.
Kami melewati rumah penduduk, sawah dan jalan. Buatku yang penting jangan terpisah atau aku bakal tersesat soalnya aku kan belum hapal jalan-jalan daerah sini.
Lari jarak jauh seperti ini membuat kedua pahaku terasa gatel, belum lagi nafasku yang terengah-engah.
“Bisakah.... kita... istirahat?” aku menarik lengan baju temanku.
“Tapi nantinya kita jadi terakhir.” jawabnya enggan.
“Tapi aku gak sanggup lagi.”
Nia terdiam memandangku, kulihat dia memicingkan matanya menatap punggung teman-teman kami yang sudah sangat jauh di depan.“Habis ini lewat mana? Kasih tahu aku rutenya.” Aku mencoba tidak menyulitkan dia.
“Kamu lurus saja, lihat itu, mereka berbelok. Kamu nanti juga belok di sana, habis itu ikutin saja jalan yang ada. Nanti terlihat sekolah kita.” jelasnya sambil mengelap keringat yang menetes dari dagunya.
“Oke. Kamu duluan deh.”
“Serius tidak apa-apa sendirian?” tanyanya khawatir.
“Iya! Duluan gih.” jawabku.
“Hati-hati ya, Mel.” ucapnya sebelum kembali berlari dan aku mengangguk pelan.
Kucari batu yang agak besar di belakangku, supaya aku bisa duduk dan beristirahat sebentar.
Jalan setapak di sini masih berupa tanah yang belum diaspal. Bahkan pemandangan depanku terlihat seperti hutan, tidak lebat sih. Tapi banyak pohon dan ilalang yang tinggi, lurus lebih jauh ke depan ada sawah.
Kucondongkan kepalaku ke kanan dan kiri, “Gawat!” tak terlihat lagi teman-teman, “Jangan bilang aku terakhir.”
Buru-buru aku berdiri, saat aku menepuk celanaku bagian belakang itulah aku mendengar suara erangan yang berasal dari belakangku.
Semak-semak di belakang batu tempat aku duduk tadi bergerak, “Akhhh....” lagi, suara itu terdengar seperti rintihan binatang.
Aku mendekat ke arah semak-semak itu untuk memeriksanya, saat tanganku menjangkau beberapa rumput, mendadak sesuatu terbang melesat hampir menabrak wajahku.
Aku terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk.
Mataku menangkap sesuatu, seperti capung tapi yang ini lebih besar. Dan dia punya wajah. Sedetik kemudian aku berdiri, memanjangkan tangan untuk menjangkaunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Ketika Aku di Sini
FantasyKumpulan cerpen ini saya buat selama 30 hari ke depan dalam memenuhi tantangan menulis #30harikonsistenmenulis Semua cerita yang ada adalah bagian dari kerajaan khayalku yang ingin kubagikan kepada semuanya. Btw, judul mana yang paling kalian suka d...