Ini kisah nyata yang kualami sendiri. Buat kalian yang tidak percaya arwah, sebaiknya kalian berhati-hati, karena aku berani jamin kalau mereka nyata adanya.
Nenekku suka bilang kalau sudah magrib jangan main di luar. Tapi emang dasar masih bocah, aku tidak percaya apa katanya.
Memang apa yang bisa terjadi? Toh aku mainnya juga masih di sekitar rumah. Memangnya si hantu berani menampakkan diri kalau suasana ramai?
Seperti itulah pembelaanku kalau tertangkap nenek masih main di luar saat jam 6 sore. Hampir setiap hari nenek gusar memarahiku. Padahal aku cucu perempuan satu-satunya tapi nakalku tak jauh beda dengan cucu cowok lainnya.
Kemudian saat aku berusia 12 tahun, nenek meninggal karena penyakit TBC. Seketika rasanya ada yang hilang dalam diriku. Aku kangen saat kami berantem, kangen saat nenek memarahiku atau apapun yang berhubungan dengannya.
Hari-hariku terlewat begitu saja, perlahan kenangan tentang nenek pun menghilang dari ingatanku berganti dengan masa-masa remaja yang indah.
Sampai suatu hari, kalau gak salah aku sudah berusia 18 tahun waktu itu, nenek mulai sering muncul di mimpiku. Sebenarnya sih lebih ke suaranya karena beberapa kali mimpi itu hadir dalam gambar yang seperti kabut. Tidak terlalu jelas.
Hanya terdengar suara nenek memanggil namaku, awalnya aku tidak terlalu ambil pusing. Tapi kalau mimpi yang sama mulai sering hadir, aku rasa siapapun akan merasa takut.
Semakin lama mimpi itu semakin mengganggu dan aku selalu terbangun dalam kondisi kepanasan. Kupandangi AC di kamarku, masih nyala dengan benar, hembusan anginnya juga dingin. Tapi entah kenapa tubuhku rasanya panas.
Selama seminggu terakhir, mimpiku mulai terlihat, awalnya banyak kabut setelah itu menjadi asap, bergulung-gulung, membuatku sesak nafas dan kepanasan.
Aku cerita tentang mimpi itu ke Ibu, katanya sih nanti ditanyakan ke orang pintar tapi karena diundur-undur terus. Sebulan pun berlalu.
Malam itu, mimpiku semakin parah. Aku berdiri dalam rumah yang terbakar, asap dan nyala api menutupi hampir seluruh penglihatanku.
Terdengar suara nenek yang terus berteriak memanggil namaku, “Mitha cepat lari! Mitha lari.... lari!” tapi aku bahkan tidak bisa bergerak. Sekelilingku ada api dan sangat panas.
Aku hanya bisa berteriak, “Ibu! Ayah!”
Sampai akhirnya ibu masuk ke kamarku dan mengguncang tubuhku supaya aku sadar.
Baju kaosku basah oleh keringat, ibu menatapku cemas, “Apa yang terjadi?” tanya ibu mengelap keringat di dahiku.
“Kamu mimpi apa sampai keringatan begini?” tanya ayah kemudian memberiku handuk kecil.
“Ibu masih ingat gak, aku pernah cerita soal mimpi.” Ibu mengangguk masih dengan tampang cemasnya.
“Aku mimpi rumah kita kebakaran Bu, dan ada suara nenek yang terus menyuruhku lari.”
Ayah dan ibu saling tatap, “Sungguh!” ulangku meyakinkan mereka.
“Lalu?” Ayah bertanya.
“Aku terjebak di tengah kobaran api, aku tidak lihat Ayah dan Ibu. Tapi aku tahu dengan jelas, Nenek berada di sana, dia terus menyuruhku untuk lari.”
“Sebenarnya apa yang terjadi?” ucap ibu menatap cemas kepada ayah.
“Kamu yakin rumah ini?” Ayah memandangku serius.
“Iya, rumah ini yang terbakar.” jawabku.
“Ibu, Ayah rasa ini adalah pesan dari almarhum Nenek untuk kita. Mungkin bakal terjadi sesuatu yang buruk terhadap rumah ini.” ucap ayah dengan serius.
“Lalu kita harus bagaimana?” tanya ibu.
“Apa sebaiknya kita pindah dulu? Untuk sementara kita tinggal di apartemen. Kan kebetulan yang sewa apartemen kita berakhir besok kan? Kita langsung pindah ke sana setelahnya.” jawab ayah.
“Iya, kita pindah ya Bu. Aku takut, hampir setiap malam aku mimpi yang sama.”
“Ya sudah, besok kita mulai berkemas.” angguk ibu sambil menatap kami.
Aku sedikit lega karena sekarang ayah dan ibu mau menanggapi mimpiku, akhirnya sesuai rencana kami pun pindah ke apartemen.
Memang sih mimpi itu tidak pernah muncul lagi sejak kami tinggal di sini. Tapi yang membuat kami penasaran adalah setelah sebulan berlalu, rumah yang kami tinggalkan itu baik-baik saja alias tidak terjadi kebakaran. Lambat laun orang tuaku mulai berencana untuk kembali ke sana.
Malam harinya perasaanku sangat kalut, seperti ada kecemasan yang tidak kumengerti, pokoknya perasaanku tidak enak banget.
“Nenek,” panggilku dalam doa, “Mitha minta maaf kalau dulu Mitha sangat nakal. Mitha janji akan selalu nurut semua pesan Nenek dulu.” Aku menelen ludah dan masih memejamkan mata, “Pikiran Mitha sangat kacau malam ini, Nek. Mitha juga minta maaf jika tidak mengerti arti mimpi yang Nenek kasih.”
“Apakah sebenarnya arti mimpi Mitha selama ini, Nek?”
“Apakah Nenek bersedia untuk datang lagi ke mimpi Mitha dan kasih tahu apa yang harus Mitha lakukan?”
“Aku sayang sama Nenek, janji tidak akan pernah melupakan Nenek.”
Saat itu aku tersentak kaget, aku merasakan ada yang mengusap pucuk kepalaku. Bulu tengkukku rasanya berdiri, mendadak aku merasa dingin.
Buru-buru aku menoleh ke belakang, tidak ada ayah ataupun ibu di kamarku. Aku sendirian.
“Yang barusan menyentuh kepalaku Nenek ya?” aku bertanya pelan dengan suara gemetaran.
“Jangan pulang.” Sayup-sayup aku mendengar suara itu.
“Apa Nek?” aku benar-benar ketakutan, kakiku melangkah mundur sampai menempel ke tembok.
“Nenek! Nenek kah itu?”
Karena tidak ada jawaban, aku buru-buru berlari keluar kamar dan langsung mencari ibu.“Ibu! Ibu!” aku berteriak.
“Kenapa sih?” ibu keluar dari kamar dan hampir bertabrakan denganku.
“Ada.. Nenek.. tadi di kamarku!” ucapku tersengal.
“Jangan bercanda ah!” hardik ibu.
“Kumohon kita jangan kembali dulu ke rumah. Nenek menyuruh kita jangan kembali.” ucapku panik.
Dan kalian tahu, dua hari setelahnya di komplek rumah kami terjadi ledakan hebat. Katanya tabung gas meledak dan pusat ledakan benar-benar di sebelah rumah kami.
Kebakaran itu menghabiskan 5 rumah. Antara berduka dan bersyukur, karena Nenek lah, kami sekeluarga selamat.
-End-
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Ketika Aku di Sini
FantasiKumpulan cerpen ini saya buat selama 30 hari ke depan dalam memenuhi tantangan menulis #30harikonsistenmenulis Semua cerita yang ada adalah bagian dari kerajaan khayalku yang ingin kubagikan kepada semuanya. Btw, judul mana yang paling kalian suka d...