13

1.2K 221 4
                                        


TERPOJOK

.

.



Sudah hampir dua bulan Ann berada di pesantren Al-Hidayah, tapi jiwanya masih kosong. Kekerasan hati dan pikirannya masih mengontrol perasaannya sampai saat ini. Sehingga apapun yang diberikan pihak pesantren masih belum bisa menyentuhnya. Pikirnya, sia-sia papanya mengirim dia ke tempat ini. Hanya menambah tekanan jiwa dan raganya saja. 

 Ann mendengus bosan, setelah solat duhur tidak ada lagi kelas karena guru yang mengajar ilmu Fikih tidak datang karena suatu alasan. Dia hanya berdiam saja sendiri di kamar, Sita sedang di perpustakaan. Kedua sahabatnya juga tidak kabar beritanya, mungkin mereka sedang sibuk dengan kuliahnya. Memikirkan itu, membuat Ann iri dengan Astrid dan Keyla yang masih bisa bergaul di luaran sana. Dia membuka bungkus rokok dari laci lemarinya, kosong. 

Maka dengan sedikit memaksa dia menyeret langkahnya keluar kamar menuju belakang pesantren. Memperhatikan beberapa petani yang masih berada di di perkebunan itu. Matanya menangkap seseorang yang sedang berada di kebun wortel.

Ali terlihat sedang mengaduk-ngaduk tanah dengan cangkul agar tanah menjadi gembur dan subur untuk bisa ditanami lagi.

Ann mendekat, lalu memperhatikan pemuda itu dari jarak lima meter. Matanya hampir tidak berkedip ketika dengan sadar Ann melihat sesuatu yang berbeda dari Ali. Meskipun terik matahari masih menyengat, Ali seperti sebuah mata air di tengah-tengah padang pasir yang panas. Sejuk-sejuk menyenangkan.

Merasa ada yang memperhatikan, Ali menoleh ke arah Ann dan membuat gadis itu sedikit gelagapan karena kepergok sedang memperhatikannya.

Ann memalingkan wajahnya, kembali dengan wajah jutek dan datar.

"Daripada bengong disitu, bisa minta tolong bawa keranjang itu kesini?." Seru Ali.

Ann melirik benda di sampingnya dengan ekor matanya. Dengan terpaksa Ann menenteng keranjang yang berisi bibit wortel itu ke hadapan Ali.

"Terimakasih."

Tidak ada sahutan dari Ann.

"Kamu mau sekalian bantuin menanamnya gak?"

Mata Ann membola, main-main tanah maksudnya gitu.

"Gampang kok, kamu tinggal masukin ini ke tanah." Tanpa melihat ekspresi Ann, Ali memperlihatkan cara menanam sayuran berwarna orange itu.

Ann yang sedang mencari ketenangan dan bermaksud duduk-duduk santai di saung sawah yang biasa dia datangi. Kenapa malah dimintain nanam wortel kayak petani di sekitar mereka sih.

Ali masih menunggu dengan menyodorkan beberapa umbi wortel untuk Ann.

Ann menghela napas, oke lagipula dia gak ada kerjaan gak ada salahnya membantu pemuda di depannya itu. Dengan sedikit kasar dia menarik benda yang masih ada ditangan Ali. Dia kemudian berjalan lalu mulai menanam tunas-tunas itu satu-satu.

Ali tersenyum, tidak menyangka kalau Ann akan menurutinya. Padahal tadi dia hanya mencoba-coba saja, melihat gadis itu seperti bosan. Ali kemudian menyusul dengan ikut menyelesaikan pekerjaan yang sama dengan Ann.

Ann lama-lama menikmati apa yang dilakukannya, tidak terlalu susah juga. Dia memperhatikan hasil kerjanya. Tanah memanjang itu telah terisi dengan tunas-tunas wortel baru. Ann merasa puas, ketika dia hendak meminta lagi tunas-tunas itu, Ali berujar yang membuat raut wajahnya kembali masam.

"Saya pikir kamu anak manja yang gak suka dengan hal-hal kotor seperti ini."

Seharusnya Ali tidak mengatakan hal itu meskipun nada bicaranya tidak terkesan menyindir dan memang tidak ada niatan seperti itu, mood Ann kembali muram kan karena dianggap cewek yang gak bisa ngapa-ngapain.

"Kenapa? kaget? Gue tuh bukan kayak anak-anak alay yang cuma merhatiin penampilan doang ya. Kalau cuma kayak gini, gue juga bisa."

"Oh, kalau gitu seharusnya kamu tahu dong bahwa selama ini apa yang kamu lakukan itu tidak baik."

Ann menatap malas Ali.

"Gue ngelakuin hal baik atau jelek itu urusan gue, hak gue...gak ada hubungannya sama lo."

Ali memejamkan mata, sepertinya kata-katanya terlalu memojokan Ann. Dia jadi merasa tidak enak telah kelepasan bicara hingga membuat gadis itu kesal. Padahal interaksi mereka mulai membaik, mengingat mereka berdua selalu berselisih paham selama ini.

Dia menarik napas menyesal."Saya minta maaf, saya hanya ingin..."

"Lo tuh gak tahu apa-apa tentang gue, tentang keluarga gue, maupun rasa kehilangan gue...jadi gak usah sok menilai apa yang gue lakuin selama ini salah!" Ann memotong ucapan Ali dengan wajah tegangnya. Gadis itu terlanjur emosi sehingga tidak bisa berpikir lagi.

Kenapa ucapan Ann sepertinya malah menyulut sesuatu di dada Ali. Ketika pemuda ini merasa apa yang dilakukan Ann bertentangan dengannya. Dia ingin selalu membantah dan membenarkan apapun yang dianggap buruk di matanya.

"Bukan seperti ini untuk melampiaskan kehilangan. Saya ingin memperbaiki kamu sama seperti pesantren ini yang ingin membantu orang-orang yang sudah kehilangan arah seperti kamu."

Rahang Ann mengeras, sepertinya obrolan mereka semakin memanas. Mereka masih berdiri berhadapan di tengah-tengah perkebunan yang luas.

"Ini hidup gue! apapun jalannya, apapun hukumannya nanti dari Tuhan itu urusan gue! Kenapa orang lain harus repot-repot sok peduli."

Ali sedikit terkesiap mendengarnya. "Jangan bicara seperti itu, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan takabur. Disaat orang lain ingin membantu seharusnya kamu bisa melembutkan kekerasan hati kamu..."

"GUE MUAK DISINI!, gak ada yang ngertiin sebenarnya apa mau gue!" Akhirnya Ann mengeluarkan suara kerasnya, membuat beberapa orang yang berada tidak jauh dari mereka mendengar pembicaraan mereka berdua.

"Kalau begitu, katakan apa mau kamu?!" Ali menatap peduli, berharap gadis di hadapannya ini menyadari bahwa ada orang yang akan mengulurkan tangan untuk membantunya.  

Bibir Ann bergetar, Ali menatapnya dengan penuh perhatian. Ann tidak suka itu, maka dia berteriak melampiaskan sesak di dadanya.

"GUE MAU NYOKAP GUE HIDUP LAGI! Lo bisa? Lo bisa hah?!"

"Astagfirullah! Allah sudah menentukan kematian dan jalan hidup seseorang dengan segala pertimbanganNya. Jangan menentangNya dan istigfar dari ucapan kamu itu!"

Ann merasakan matanya berkabut, ketika perlahan cairan bening itu lolos dari matanya.

"LO TUH GAK TAHU APA-APA! Lo gak bakal tahu apa yang gue rasakan!"

Ali menghela napas, melunakkan nada bicaranya mencoba untuk menenangkan dan memberikan rasa empatinya.

"Saya tahu rasanya kehilangan."

Ann menggeleng penuh amarah. "BULSHITT!"

Lalu berbalik dengan cepat meninggalkan tempat itu dengan menyembunyikan air matanya yang semakin deras mengalir.

Ali terperanjat mendengar ucapan Ann diantara isakan kecilnya. Dadanya sesak ikut merasakan apa yang dialami gadis itu. Karena dia tahu bagaimana rasanya ditinggal orang yang dicintainya.

 Rasa pedulinya belum tersampaikan, tapi gadis itu pasti semakin membencinya sekarang.


Sita yang sudah berada di kamar, terkejut ketika Ann membuka pintu kamar dengan kasar lalu mengunci dirinya di kamar mandi. Samar-samar Sita mendengar suara tangisan yang cukup membuatnya ikut merasakan rasa sakit yang dialami teman sekamarnya itu. 

... 

"ANA UHIBBUKA FILLAH"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang