24

1.2K 205 26
                                    


KEPUTUSAN

.

.


Di rumah kiai Hasan yang letaknya bersebrangan dengan pesantren, seperti biasa di meja makan sudah duduk Asyifa, umi dan kiai sendiri untuk makan malam.

"Akbar udah kasih kabar lagi belum?" Tanya kiai kepada Asyifa. Piringnya sudah penuh dengan nasi dan lauk.

"Tadi sore kak Akbar telepon lagi, katanya dia pulang akhir bulan ini." Asyifa baru menata makanannya.

"Umi sudah ingin kita berkumpul lagi sama Akbar. Empat tahun Akbar gak pulang, rasanya kangen banget." Sahut Umi.

"Sebentar lagi umi, kak Akbar akan segera lulus." Asyifa tersenyum pada uminya.

"Apa Akbar pulang nanti, sekalian bawa calon ipar kamu gak ya?"

Asyifa terkekeh. "Umi, kak Akbar kuliah bukan buat cari istri tapi cari ilmu."

"Sekalian Syifa, kalau bawa sendiri kan kita gak repot-repot nyariin dia calon gitu."

Kiai dan Asyifa tertawa kecil.

"Umi takut, kelamaan belajar Akbar gak nikah-nikah."

"Ada waktunya umi, kita gak bisa memaksakan jodoh harus ada besok kan?" sahut Kiai Hasan.

Umi kemudian menoleh pada Asyifa. "Kamu sendiri, udah ada calon belum?"

Asyifa gelagapan dengan bingung. "Belum umi."

"Kamu sudah cukup umur untuk menikah lho. Udah mau dua lima kan? Umur segitu, umi udah punya Akbar." Goda umi lagi.

Asyifa melambatkan kunyahannya, kepalanya mendadak ingat Ali. Kalau boleh Asyifa meminta jodohnya, dia ingin sekali laki-laki itu yang akan menjadi imamnya. Selama ini Asyifa jarang berhubungan dekat dengan laki-laki, karena selain sibuk mengurus pesantren hatinya juga rasanya tidak bisa ke lain hati. Ingin sekali dia memberitahu tentang perasaannya kepada orangtuanya, tapi Asyifa takut mereka tidak memberi restu karena Ali bukan dari keluarga kiai seperti dirinya.

Kiai Hasan menyelesaikan makan malamnya dengan meneguk minumannya. Dia lalu bertanya pada Asyifa.

"Kamu benar belum punya calon?"

Asyifa menggeleng, menyakinkan.

Kiai menjeda ucapannya. "Kalau abah meminta kamu untuk taaruf dengan Ali, kamu mau?"

Asyifa hampir menggigit lidahnya mendengar pertanyaan dari abahnya. Tidak jauh berbeda dengan reaksi umi yang membulatkan matanya kaget.

Dengan bingung Asyifa hanya menatap kiai meminta penjelasan. Mukanya sudah memerah malu.

Kiai tersenyum kecil. "Ali sudah bersama kita sejak kecil, kita jadi tahu sifat dan perilakunya bagaimana. Selain soleh, anak itu bertanggung jawab dengan apa yang sudah abah ajarkan padanya. Belajar dengan baik hingga mendapat beasiswa untuk kuliahnya, sekarang dia akan menjadi pegawai negeri di dinas pertanian kabupaten."

"Wah, benarkah abah?" sahut Umi senang.

Kiai mengangguk."Kemarin dia cerita sama abah, meminta ijin untuk tetap mengajar disini meskipun dia udah kerja di tempat lain."

Umi mengangguk-angguk, merasa bangga seperti apa yang dirasakan oleh kiai. Wanita ini juga ikut mendidik Ali sampai sebesar ini, membuatnya terharu dengan nasib baik Ali sekarang.

"Abah benar, Insyaallah Ali adalah laki-laki yang pantas untuk kamu Syifa. Menurut umi Ali juga sepertinya belum punya calon. Kemana-mana dia selalu sendiri." Umi setuju dengan Abah karena umi sendiri melihat bagaimana pemuda itu tumbuh besar. 

"Jadi, bagaimana?" Kiai bertanya lagi, karena Asyifa masih terdiam terlalu senang dengan pertanyaan dan berita baik tentang Ali saat ini.

Asyifa pikir, abah dan umi akan mencarikannya jodoh seorang putra kiai dari pesantren lain atau setidaknya seorang yang sejajar dengan posisi Abah. Tapi dia bersyukur kedua orangtuanya tidak memandang status dan jabatan untuk calon menantu mereka. Ini seperti harapannya menjadi kenyataan, ketika dia jatuh cinta kepada laki-laki dan orangtuanya sendiri yang menginginkan dia bersanding dengan pria pilihannya.

Dengan malu-malu dan dada membuncah bahagia, Asyifa menjawab. "Syifa terserah abah dan umi saja."

Kiai dan umi menghela napas lega, keduanya saling menatap sambil tersenyum.

...



Ann benar-benar tidak bisa tidur setelah berbicara dengan ustad Syarif tadi sore. Jam menunjukkan angka dua dini hari, tapi dia hanya berguling-guling di kasur dengan perasaan bingung. Ada yang mengajaknya taaruf dengan tiba-tiba membuat kepalanya benar-benar pusing, tidak mengerti apa yang harus dilakukan ketika dihadapkan dengan situasi seperti ini.

Dia menggelengkan kepala beberapa kali, menyesalkan keputusan Stephen yang terburu-buru. Taaruf bukan ajakan yang main-main, sebuah tahapan antara lelaki dan wanita yang hendak menikah, untuk lebih saling mengenal sebelum menuju jenjang pernikahan. Itu artinya Stephen memintanya untuk menjadi istrinya.

Ann beranjak dari kasurnya, berjalan ke arah kamar mandi. Satu-satunya yang bisa menjawab keluh kesahnya adalah cerita kepadaNya.

Setelah salam tahiyat terakhir, Ann benar-benar memasrahkan segalanya kepada sang penciptanya. Dengan dada yang sesak dan kebingungan yang melanda, dia mengangkat kedua tangannya.

"Ya allah engkau yang maha mengetahui yang terbaik untuk hambanya. Engkau juga yang mengetahui bahwa hamba sangat mencintai Ali. Hamba memang terlambat menyadarinya, tapi sungguh hanya laki-laki itu yang mampu mengisi hati hamba. "

Kedua kelopak mata indahnya tertutup bersamaan dengan butiran air mata yang berjatuhan.

"Aku mencintai Ali...aku mencintai Ali wahai pemilik semesta..."

Bahunya bergetar, suasana kamarnya semakin terasa sesak dengan isakannya.

"Bila takdir hamba memang tidak berjodoh dengannya...buka kan lah hati hamba untuk yang lain, tanpa disakiti dan menyakiti..."

Tangisnya semakin keras, seperti tidak siap dengan apa yang baru saja dia ucapkan.

"Ampuni hamba ya Allah, ampuni hamba bila menentang dan menolak takdirMu. Hamba mohon beri hamba petunjuk untuk pendamping hamba. Hanya kepadaMu aku berserah..."

Malam yang semakin dingin pun menemani doa-doa yang terucap dari bibirnya yang terisak. Seperti merasakan kegalauan seorang Ann yang harus memutuskan suatu perkara dengan sebenar-benarnya.

...



Rosa menatap keponakannya dengan lembut.

"Kamu sudah siap?"

Ann menarik napas lalu mengangguk lemah.

Keduanya turun dimana lantai bawah rumah oma sudah banyak orang yang datang. Ustad Syarif dan Stephen serta keluarganya.

Dengan langkah pasti Ann kemudian duduk satu kursi dengan Rosa dan suaminya, dan oma. Di depannya, pemuda yang bertanggung jawab atas resah gelisahnya duduk diapit kedua orangtuanya. Memandang Ann dengan senyum bersahajanya.

Ustad Syarif mulai membuka acara, menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan keluarga Stephen. Hingga akhirnya ketika Ann ditanya bersediakah menerima taaruf Stephen.

Ann mengangkat wajahnya, dengan tanpa paksaan dari siapapun. Menguatkan hatinya dengan keputusan yang akan diambilnya hari ini.

"Insyaallah, saya bersedia." 

...

"ANA UHIBBUKA FILLAH"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang