Menuju Sebuah Legenda

136 23 0
                                    

Setelah melewati mimpi yang panjang, paginya aku bangun agak kesiangan. Kakakku memaklumi, dia tau betul kalau adiknya ini kelelahan bukan karena aktivitas fisiknya, melainkan aktivitas spiritual yang tidak orang lain pahami.

Lucunya, kadang-kadang kakakku juga mendapatkan firasat. Seperti... dia juga akan bermimpi hal yang sama. Dia akan bermimpi kalau aku sedang pergi ke suatu tempat. Tetapi, ia tidak mengalami kejadian serupa, ia hanya sekedar menungguku dari kejauhan. Lalu paginya, ia akan bertanya, "Dari mana kamu semalaman?". Aneh sekali bukan kakak-beradik ini?

Tapi kurasa, kakakku juga sebenarnya indigo, hanya saja batas kemampuannya tidak sama denganku. Ia selalu bisa merasakan sesuatu, bisa juga mendeskripsikan dengan tepat apa yang ia rasakan walaupun ia tidak melihatnya. Kadang-kadang, dia juga bisa memecahkan kasus selayaknya detektif. Apapun yang bisa ia lakukan, ia lebih sering tidak menyadarinya.

Dibanding adik-adiknya, ia tidak memiliki skill seperti bermusik, berolahraga, menulis, berjualan, atau lainnya. Dia sendiri yang sering mengatakan seperti itu. Tapi mungkin ia tidak sadar, bahwa skillnya itu cukup tersimpan di dalam otaknya. Tidak bisa dilihat ataupun ditunjukkan. Skillnya bekerja tanpa ia sadari. Daya analisisnya sangatlah membantuku, apalagi dalam memecahkan masalah dari apa yang tidak terlihat.

Skill yang kakak miliki sangatlah berguna, seolah melengkapi suatu data yang tidak bisa aku dapatkan. Rasanya, manusia memang benar-benar makhluk sosial. Disamping aku yang indigo, aku juga tidak bisa mengetahui banyak hal dan membereskan semuanya sendirian. Aku sering berkonsultasi pada ibu, atau kakak. Ibu lebih memberikan ketenangan dan dorongan kekuatan, sedang kakak lebih sering memberikan opini dari hasil analisisnya, dan itu sangat membantuku dalam memecahkan masalah. Ya, dia memang sahabat terbaikku sejak aku lahir. Kami sering memecahkan masalah bersama-sama, belajar bersama, main bersama, dan banyak hal lainnya.

---

Waktu itu aku terbangun sekitar jam 6.10 wib. Tercium aroma ayam goreng dari kamar. Sepertinya kakak dan tante sedang memasak sesuatu untuk sarapan pagi ini.

Selesai mandi dan sarapan pagi, aku diajak kakakku pergi ke suatu tempat. Sekalian jalan-jalan menikmati udara segar, katanya. Udara di sekitar perumahan kakakku ini memang masih sangat sejuk dan asri. Di sana masih terbentang persawahan yang cukup luas. Benar-benar suasana yang menentramkan jiwa.

"Nay, fotoin tante dong. Jarang-jarang pemandangan kayak gini di tengah kota, udah lama nih gak ke sawah."

"Satu, dua... satu, dua... satu, dua...." Beberapa foto kuambil untuk tanteku yang selalu narsis. Beberapa potret pemandangan juga kuambil untuk dijadikan kenang-kenangan.

"Sini gantian, kamu yang difoto. Tapi kamu tuh suka bikin tante greget. Banyak foto di galeri, tapi kok gak pernah posting sesuatu sih," heran tanteku.

Tak tahu juga lah kenapa, dari dulu aku memang tidak terlalu suka mengupload foto ke media sosial. Menggunakan media sosial pun jarang-jarang. Hanya ada satu-dua-tiga foto yang kupajang, selebihnya, beratus-ratus foto kubiarkan saja di galeri hp. Seperti... kenangan ini cukup untukku saja, aku yang akan bertanggungjawab untuk menyimpannya lebih lama, mengenangnya lebih lama, dan akan selalu menjaga kenangan ini dalam hidupku.

Ya, aku hanya seseorang yang menikmati hidup senyamanku saja. Lebih suka untuk menyimpan beberapa kenangan, tidak membuat postingan-postingan yang menunjukkan foto diri. Kalau suatu hari mau, ya tinggal ku posting saja. Tapi biasanya hanya bertahan sebentar. Begitu saja.

Selesai mengambil beberapa foto, aku dan kakakku terus berjalan menuju sebuah perkebunan warga. Katanya, semakin dalam berjalan, maka kami akan memasuki sebuah hutan kecil. Hutan dimana sumber mata air pedesaan berada. Letaknya cukup jauh dari rumah kakak –kalau ditempuh hanya dengan jalan kaki seperti ini.

Indigo Crystal 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang