Kisah Pak Banyu (2)

95 20 1
                                    

Dua minggu setelah Pak Banyu dikeluarkan.

"Aduh ini gimana, gak ada Pak Banyu." Bingung Mba Ayu.

"Nay, Nayshi bisa buat desain kan?" tanyanya.

"Bisa mba," jawabku.

"Tolong buat dan print desain untuk event sabtu nanti, ya," pintanya.

"Oke," jawabku ringan.

"Jangan lupa buat konten videonya, ya," tambahnya lagi.

"Oke," jawabku lagi.

"Print berapa mba?"

"150 lembar deh Nay kayaknya," jawabnya.

"Oke."

Sejak hari itu, seluruh pekerjaan Pak Banyu dihandle sementara oleh tim operasional. Aku yang sedikit banyak memiliki kemampuan dalam mendesain dan mengedit mulai menggantikan Pak Banyu untuk sementara waktu, seperti membuat desain flyer, ID card karyawan baru, buletin, iklan produk ppkm perusahaan, dokumentasi, dan juga konten lainnya yang diperlukan.

____

Sore itu.

Sekitar jam 4 sore, setelah aku menyelesaikan pekerjaanku, aku melanjutkan pekerjaanku lainnya yang merupakan tugas Pak Banyu sebelumnya.

Aku yang biasanya selalu di ruang operasional, kini mulai banyak berdiam diri di ruangan yang sebelumnya digunakan oleh Pak Banyu untuk bekerja.

Ruangan Pak Banyu ini ada di belakang ruangan Bu Ageng, tempatnya sangat lembab karena bersebelahan dengan toilet. Hawa-hawa tak enak selalu melingkupi ruangan ini. Sebelumnya, aku sama sekali belum pernah, bahkan tidak mau menginjakkan kaki ke ruangan Pak Banyu karna penghuni utama di ruangan ini adalah ibu pocong hitam. Tapi karna ada banyak hal yang harus kukerjakan segera, mau tidak mau aku harus mengabaikan rasa tidak nyamanku itu.

Saat tengah fokus mendesain, tiba-tiba saja kejanggalan mulai bermunculan. Hawa semakin panas, dan ruangan semakin sesak. Mungkin karna situasinya sudah sore menjelang magrib juga, pasti energi mereka semakin kuat.

"Huu uu uu uuu," suara samar mulai terdengar di telinga kananku.

"Ssssshhhhh...." desiran angin mulai terasa, dan hawa ruangan sudah mulai panas. Rasa panas yang dimaksud disini adalah hawa panas seperti hawa api, jadi bukan panas sekedar panas biasa. Mungkin juga ini karna aku yang sensitif, jadi antara energiku dan energi "mereka" pastinya saling berbenturan.

"Nay, belum beres?" tanya Kak Aluna yang melihatku di ruangan pojok nan lembab ini sendirian.

"Pindah komputer aja di depan," ingat kakak yang cukup khawatir.

"Mmm, sebentar lagi. Kayaknya mending aku lanjut besok siang lagi aja. Enak pake komputer ini," jawabku.

"Yaudah besok lagi aja, udah jam segini kamu siap-siap pulang aja," saran kakak.

Saat aku membereskan meja dan beberapa berkas di ruangan Pak Banyu, tiba-tiba saja ada yang mencengkeram kakiku. Cepat-cepat kulihat ada apa di bawah meja sana.

"Astagfirullah, kuntilanak ini ngapain sih ngesot-ngesot di kolong meja. Narik-narik kaki segala," pikirku kesal.

Kuntilanak itu masih mencengkeram kakiku dengan tangan kanannya. Dibilang mengerikan, tentu saja mengerikan, tapi mau bagaimana lagi. Mau tidak mau setiap hari dan setiap waktu aku memang harus menghadapi segala bentuk peruwujudan mereka.

"Mbak kun, permisi. Tolong lepasin tangannya, saya mau pulang," batinku.

Karena ia cukup bandel, akhirnya mau tidak mau aku mengusirnya secara paksa. Setelahnya, pasti dia akan tersinggung dan menggangguku sampai ke rumah. Yasudahlah, resiko anak indigo.

Indigo Crystal 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang