Sesuatu Terjadi di Desa Ini

199 32 2
                                    


23.00 WIB
Aku masih terjaga.

"Perasaanku gak enak, perasaanku gak enak." Berkali-kali pikiranku meracuni diriku.

"Jangan tengok belakang, jangan tengok belakang." Berkali-kali juga aku memperingati diriku.

"Nay!!" tiba-tiba saja ibu malah masuk kamar, untuk mencari minyak kayu putih.

"Ya ampun, ibu ngagetin," cemasku.

"Kenapa?" tanyanya.

Astaga, apa itu?!!!!!

"E-eh... bu, itu ada buaya." gumamku saat melihat ke samping ibu. Padahal, sedaritadi aku berusaha menghindari sudut itu agar aku tidak melihatnya.

"Haha, buaya apaan? Boneka buaya ini maksudnya?" sahut ibu sambil meraih boneka buaya di kasurku.

"Ng-ngga... itu buayanya gede banget di deket kasur," ucapku.

"Lama-lama aku jadi takut juga sama boneka buaya kalau kayak gini," gumamku.

Tanpa merasa ngeri, ibu menghampiriku. Ia begitu tenang menasihatiku untuk tetap berpositif thinking. Ibu bilang, tidak apa, mungkin ada sesuatu yang ingin "dia" sampaikan. Jangan dulu takut sebelum berkenalan.

'Oke' batinku. Setelah mengambil apa yang ia perlukan, ibu meninggalkan kamarku. Pada dasarnya, ibu sendiri sebenarnya takut. Hanya saja ia pandai menutupinya di hadapanku, agar aku tidak panik dan bisa belajar menghadapi hal-hal yang tidak kusukai.

Aku menarik napas dalam-dalam, supaya aku lebih yakin dan lebih tenang. Tapi tetap saja, ini mengerikan. Rasanya justru seperti akan diterkam seekor buaya buas yang ukurannya sangat besar. Mungkin ada sekitar 2-3 meter. Mengerikan!

"Baiklah, kita mulai komunikasi kita. Ada apa?" kumulai bertanya.

Dalam kondisi ini, mungkin aku agak tidak sopan. Aku mau mengajaknya bicara tapi aku sendiri tidak mau berhadapan dengannya. Aku membelakanginya supaya bisa berkonsenstrasi.

Aku sangat ngeri kalau harus berhadapan dengannya. Kalian bayangkan saja buaya besar itu. Bahkan di kebun binatang pun buayanya tidak sebesar ini. Aku takut, tapi satu-satunya yang harus dilakukan untuk melawan rasa takut hanyalah berani. Jadi mau tidak mau aku harus menghadapi ini.

"Apa aku harus merubah wujudku?" tanyanya tiba-tiba.

"Kalau bisa, tentu saja! Aku takut pada wujudmu yang seperti itu," jujurku.

"Ah, begitu ya. Baiklah," jawabnya santai –tidak seperti yang kupikirkan.

"Apa sudah berubah?" tanyaku yang masih tidak mau melihatnya.

"Belum," jawabnya.

"Katanya mau berubah!" kesalku.

"Haha, bukannya kamu harus bisa terbiasa dengan wujud jin manapun ya?" candanya.

"Tapi ini terlalu mengerikan. Kau ubahlah dulu wujudmu! Aku takut kau tiba-tiba memakanku," kataku.

"Hei, bahkan aku tidak bisa membuka mulutku, kita kan berbicara melalui batin. Bukan adu mulut?" katanya.

"Iya juga ya," pikirku.

"Lihat saja sebentar, aku tidak sejahat itu. Lagian kalo aku berbicara dengan mulut buayaku, kamu mungkin akan tertawa. Mulutku akan menganga terus, dan itu membuat rahangku pegal," candanya.

"Yang benar saja, itu malah tambah menyeramkan. Jin itu memang suka berbohong -_-" kataku polos.

"Kenapa kau bisa sampai sini?" tanyaku.

"Heh. Kau balas dendam ya? Karna aku memunggungimu saat di sumber mata air tadi?" ucapnya.

"Lahh... jadi kamu ini penunggu mata air itu? Kau itu sosok Abah yang dimaksud?" tanyaku kaget.

Indigo Crystal 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang