"Mama ... bagaimana Mama bisa tahu?"
Masayu Asmara, ibu tiga orang anak yang telah menjadi ibu mertua Isti sejak enam bulan lalu itu, tertawa kecil menanggapi pertanyaan menantunya. "Bukan hal sulit bagi Mama untuk mencari tahu semua itu, Isti. Enggak ..., Mama nggak pernah mencurigai kamu sebelumnya. Sejak awal Mama sudah menyukai kamu. Sampai sekarang pun Mama masih menyukai kamu, meski Mama tahu kamu selama ini berbohong."
Kalimat panjang Masayu tersebut, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Isti.
"Mama baru pulang dari Berlin waktu itu, niatnya mau main ke rumah kamu. Kata Ika, kamu pergi sama mamamu untuk kontrol kandungan. Ya sudah, Mama putuskan menyusul kalian. Tapi setibanya di rumah sakit, Mama lihat kamu dan Mbak Lidya masuk ke mobil lagi. Oh, berarti udah selesai kontrolnya, Mama pikir begitu. Ya udahlah, Mama ikutin mobil kalian dari belakang. Terus Mama malah dibikin bingung, mobil kalian bukan mengarah ke rumah kamu, ke rumah Mbak Lidya juga bukan. Ya ... begitulah."
"Pradisti ... Mama tahu nama Isti dari mana?"
"Jadi itu memang nama kamu?" Masayu kini tertawa lebih keras dari sebelumnya. "Pradisti Ayla? Bukan Isti Sofie Medina?"
Ekspresi Masayu benar-benar membuat Isti takut. Masayu yang sedang ia hadapi saat ini, jauh berbeda dari Masayu yang ia kenal selama ini. "Ya ampun, Isti ..., Mama pikir informasinya salah loh. Mama mau minta uang Mama dikembalikan padahal. Ternyata benar." Lagi-lagi Masayu tertawa. "Santai aja, Sayang. Nggak usah tegang gitu."
Bagaimana mungkin Isti bisa bersikap santai menghadapi Masayu yang ... Isti tak tahu apa yang sedang dipikirkan ibu mertuanya itu.
"Jadi kamu memang bukan anak kandung Mbak Lidya? Jadi Primus Setiawan ternyata tidak setia seperti namanya? Ya ampun, Isti ...."
"Ma ...."
"Ya, Sayang? Kenapa? Kamu takut Mama akan membongkar rahasiamu itu?" Masayu menggedikkan bahunya sekali. "Enggaklah. Nggak ada untungnya buat Mama," ujarnya tak acuh lalu kembali tertawa. "Jadi perempuan cacat itu ibu kandung kamu? Selingkuhan Primus? Berani juga dia datang ya? Apa sekarang udah akur sama Mbak Lidya?"
Meski kenyataannya Kamila memang tak bisa bergerak tanpa bantuan kursi roda, selama ini tak pernah ada yang mengatai ibunya cacat secara langsung seperti yang dilakukan Masayu. Tentu saja Isti merasa sakit hati mendengarnya.
"Mbak Lidya, Mbak Lidya." Ekspresi Masayu seketika berubah. "Mama mengerti apa yang dirasakan mamamu, Isti. Membesarkan anak selingkuhan suami ..."
Masayu tak meneruskan kalimatnya karena mendengar bunyi ketukan pintu dari luar. "Bu Isti ... Bu Isti di dalam?"
"Isti lagi ngobrol sama saya, Ika," jawab Masayu setengah berteriak.
"Iya, Nyonya. Itu ... cuma mau bilang kalau Bapak nyariin Bu Isti."
"Ya udah, sebentar lagi kami turun."
Isti hanya diam, membiarkan Masayu terus bicara. Ia masih terlalu syok dan ... takut. Suhu ruangan yang dingin justru membuatnya berkeringat.
"Kita lanjut lain waktu. Mama tahu, ada banyak hal yang mau kamu tanyakan ke Mama. Dan Mama pun sama." Ia pegang kedua bahu Isti. "Jangan takut, Mama nggak akan bilang ke siapa-siapa tentang obrolan kita barusan." Kemudian ia peluk tubuh menantunya yang masih kaku. "Saran Mama cuma satu. Jangan sampai Viona tahu. Kamu juga jangan terlalu abai dengan perempuan itu. Mama tahu dia masih mencintai suamimu. Dan ... kamu juga tahu itu 'kan?"
Masayu melepas pelukannya. Mengambil ponsel dan memasukkan kembali benda pipih tersebut ke dalam tas. "Ah, iya. Satu lagi. Hati-hati dengan sahabatmu yang bernama Hera itu. Viona membayarnya untuk mencari tahu kelemahan kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding (Selesai ✔)
General FictionMereka menikah karena adanya perjanjian bisnis keluarga. Lantas, apakah mereka juga harus berpisah karena alasan yang sama?