Entah sudah berapa lama Isti terlelap, karena saat terbangun, lampu di kamarnya sudah menyala. Jam dinding yang menggantung di kamar tak berfungsi dengan baik, mungkin baterainya harus diganti. Itu terjadi sejak kemarin dan Isti lupa memberi tahu Ika.
Isti bangkit dari tidurnya, mencari ponsel dan menemukan benda pipih itu sedang dalam pengisian daya. Isti tidak ingat melakukannya sebelumnya. Mungkin Regan yang melakukannya untuk Isti.
Mengambil benda pipih persegi panjang tersebut, Isti kaget melihat angka yang tertera pada jam digital ponselnya. Sudah pukul tujuh malam, dan dia melewatkan kewajibannya menunaikan shalat maghrib.
Isti segera beranjak dari kasur. Mengambil handuk dan bersiap menuju kamar mandi. Di saat bersamaan, pintu kamar mandi dibuka dari dalam. "Kamu udah bangun?" tanya Regan.
Isti mengangguk. "Mas nggak bangunin aku tadi."
"Aku pikir kamu butuh istirahat."
"Ya udah, aku mandi dulu. Mas udah selesai pakai toiletnya?"
Regan mengangguk, lalu sedikit bergeser memberi jalan untuk Isti.
Isti sudah menyelesaikan kewajibannya saat Regan kembali dari masjid. Isti meraih tangan Regan, mencium tangan suaminya yang merupakan satu kebiasaan mereka sehari-hari. "Sudah lebih baik?"
Isti mengangguk. Matanya bertatapan dengan netra milik Regan. Lalu Isti menyadari sesuatu. "Kamu abis nangis, Mas?"
Regan tak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil yang bisa Isti artikan sebagai jawaban atas pertanyaannya. "Mama cerita apa aja sama kamu?"
Tentu Isti tak menjawab. Tak mungkin ia mengulang dongeng yang diceritakan Masayu mengenai masa lalu Regan bukan?
"Aku memang anak haram Papa."
"Jangan ngomong gitu, Mas."
"Tapi faktanya memang seperti itu, Isti. Aku anak haram, buah dari perzinahan Papa dan ibu biologisku. Aku bahkan nggak tahu siapa nama perempuan yang mengandungku selama sembilan bulan itu."
Isti ingin kembali menangis, teringat lagi cerita tentang masa lalu Masayu hingga masa kelam yang pernah dilewati Regan.
"Sebenarnya aku malu, Isti. Aku malu sama kamu, Mas Panji, juga Kak Putri. Aku bersikap angkuh, serakah, sok berkuasa, padahal sampai kapan pun, aku nggak akan pernah bisa jadi ahli waris Papa. Semua harta yang dimiliki Papa nggak bisa diwariskan ke aku."
Isti tahu hukum tersebut. Menurut agama, anak yang lahir di luar pernikahan, tidak berhak menjadi ahli waris ayahnya. Nasabnya mengikuti ibu. Namun, Regan bahkan tak mengenal ibunya. Ia hanya pernah bertemu satu kali. Hanya satu kali sampai Regan sedewasa ini.
"Papa sudah memberitahukan itu ke aku saat usiaku 17. Papa tahu, kalau aku udah tahu kalau aku bukan anak sah Papa dan Mama. Papa memberitahuku bahwa saat Papa wafat nanti, yang menjadi ahli waris Papa hanya Panji dan Putri. Aku tidak akan mendapat apa pun ketika Papa meninggal." Kemudian Regan tersenyum getir. "Padahal sebelum Papa membicarakannya waktu itu, aku tidak pernah memikirkan harta Papa, warisan atau apa pun itu." Regan menatap Isti, dengan genangan air di sudut matanya. "Aku tidak menginginkan harta Papa, Isti."
Isti mengangguk. Tangisnya tak lagi bisa ia tahan. "Aku tahu, Mas. Aku tahu kamu nggak seperti itu."
"Papa bilang, selama Papa masih ada, aku harus menurut sama semua perkataannya, supaya aku bisa menikmati seluruh fasilitas mewah yang dia punya. Aku harus bekerja untuknya, dan mengikuti semua keputusannya. Lalu Papa akan memberiku gaji, atau hadiah yang bisa aku jadikan hak milik selama Papa masih hidup. Termasuk rumah ini, juga perusahaan yang aku kelola. Papa menjanjikan rumah ini untukku kalau aku bersedia menikahimu. Aku minta maaf karena harus mengatakan ini, Isti."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding (Selesai ✔)
Genel KurguMereka menikah karena adanya perjanjian bisnis keluarga. Lantas, apakah mereka juga harus berpisah karena alasan yang sama?