"Janinnya sehat, Bu. Ukurannya sudah lebih besar dibanding bulan lalu."
Dokter Rika kembali menggerakkan alat ultrasonografi pada permukaan kulit perutnya. Dari layar yang dipasang menggantung di depannya, Isti dapat melihat bentuk janinnya yang masih kecil. Bentuk kepalanya sudah lebih besar dibanding saat pertama kali Isti mengetahui kehadirannya.
Kehadiran anaknya.
Senyum Isti terbit mengingat jika sekitar tujuh bulan lagi, ia akan menjadi seorang ibu. Satu atau dua tahun kemudian, akan ada yang memanggilnya ibu. Perasaan Isti lantas menghangat seketika.
"Masih sering mual, Bu Isti?"
"Masih, Dok." Kemudian Isti ingat jika ia memiliki masalah dalam kehamilan pertamanya ini. "Bagaimana dengan kistanya, Dok?"
"Syukurlah ukuran kistanya sudah lebih mengecil, Bu. Cuma sepertinya berat janin Bu Isti masih kurang."
Wajah Isti yang semula sudah berbinar bahagia mendengar jika ukuran kistanya mengecil, mendadak murung mendengar berat janinnya kurang. "Tapi kondisinya sehat. Bu Isti jangan sedih," hibur Dokter Rika kala menyadari perubahan suasana hati Isti. "Mau coba dengar suara detak jantungnya, Bu?"
Isti segera mengangguk. Jantungnya kian bertalu saat diperdengarkan suara detak jantung janinnya yang masih kecil. Sangat kecil. Namun, dari layar yang sebelumnya menampakkan janinnya, Isti melihat jika ukuran kepala janinnya sudah besar. Dokter Rika sempat menjelaskan jika kondisi tersebut normal terjadi, sebab otak berkembang lebih cepat dibanding organ lainnya.
Selain melihat bentuk kepala janinnya yang lebih besar, Isti juga sempat menangis haru melihat janinnya sesekali bergerak kecil. Seakan memberitahu sang ibu jika ia baik-baik saja di dalam sana.
"Sayang sekali ayahnya nggak bisa ikut ya, Bu."
Ya ... sayang sekali memang. Regan tak menemaninya periksa hari ini. Padahal suaminya itu dulu mengatakan akan selalu ikut dengannya jika Isti harus memeriksa kandungannya. Namun, janji tersebut tak ditepati, sebab suaminya itu langsung terbang ke Pontianak sehari setelah kembali dari Singapura.
Sebelum Regan berangkat kemarin malam, Isti sudah menyampaikan jika hari ini ia ada janji temu dengan Dokter Rika untuk memeriksakan kandungannya. Regan hanya diam tak memberi respons. Tentu membuat Isti kecewa, karena Isti sempat berharap Regan sudi menunda keberangkatannya demi menemaninya pergi ke dokter hari ini.
"Selain masih mual, ada keluhan lain, Bu?"
Isti menggeleng. "Saya cuma mulai merasa payudara saya kayaknya mulai membesar, Dok. Mulai sesak pakai bra yang di rumah."
Dokter Rika hanya mengangguk. Kemudian lanjut menuliskan resep vitamin yang harus ditebus Isti nanti.
Keluar dari ruangan Dokter Rika, senyum Isti masih terukir. Ia pandangi potret janinnya yang diberikan Dokter Rika. Kemudian mengeluarkan ponselnya untuk mengambil gambar hasil usg-nya, untuk kemudian Isti kirim ke Primus. Ayahnya itu juga tahu jika hari ini Isti akan memeriksakan kehamilannya. Awalnya Primus berniat menemani Isti, tetapi Lidya melarang. Kata Lidya, yang seharusnya menemani Isti adalah suaminya, Regan.
Jadi, meski agak sedih karena tak ada yang menemaninya, Isti tetap saja merasa bahagia setelah memastikan anaknya baik-baik saja di dalam rahimnya.
Bola mata Isti nyaris keluar, mendapati pesan yang ia kirim bukan tertuju pada Primus, melainkan Regan.
***
Setelah menutup layar laptopnya, Regan menyandarkan kepalanya pada kursi kerja. Menutup mata, demi mengenyahkan sedikit pening yang tiba-tiba saja mampir beberapa saat lalu. Ia lelah dan merasa butuh istirahat. Namun, entah kenapa Adirama Hutama seolah tak memberinya waktu untuk bernapas. Pulang dari Singapura, ia dipaksa harus kembali terbang ke Pulau Seribu Sungai, Kalimantan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding (Selesai ✔)
General FictionMereka menikah karena adanya perjanjian bisnis keluarga. Lantas, apakah mereka juga harus berpisah karena alasan yang sama?