Lidya sedang mengoleskan krim malam di wajahnya saat ponselnya berdering nyaring. Nama Regan tertera pada layar ponselnya. Ia lirik suaminya yang sudah mendengkur halus. Lalu ia berjalan sedikit menjauh agar tak mengganggu tidur suaminya.
"Hallo.." sapa Lidya.
"Hallo, Ma. Benar Isti ada di rumah Mama?"
Isti?
Seketika ia paham, mengapa Regan menanyakan keberadaan Isti padanya. "Iya, Isti ada di rumah Mama."
"Bisa saya berbicara dengan Isti? Nomornya nggak bisa dihubungi."
"Maaf, Nak Regan. Isti sudah tidur dengan papanya. Kadang Isti memang suka berubah manja," ujar Lidya berdusta. "Hapenya mati. Ini hapenya sama Mama."
Tak terdengar tanggapan apa pun dari seberang sana. "Halo, Regan.."
"Selamat malam, Ma."
Sebelum mendengar balasan dari Lidya, Regan sudah memutuskan panggilan begitu saja.
"Siapa, Ma? Papa dengar Mama nyebut nama Isti. Isti kenapa, Ma?"
Lidya menoleh, mendapati Primus sudah berdiri di belakangnya. "Kamu tahu apa yang dilakukan putri kesayanganmu itu?" Lidya bertanya dengan nada murka. Sedangkan yang ditanya hanya diam, menunggu sang istri menjawab sendiri pertanyaan yang ia ajukan. "Dia pergi tanpa sepengetahuan suaminya. Dia pergi menemui wanita itu."
"Wanita yang kamu maksud adalah ibunya, Ma. Ibu kandung Isti."
Mendengar Primus menyebutkan fakta itu secara lantang, Lidya semakin meradang. "Ya, wanita murahan itu memang ibu kandung putrimu. Tapi aku yang membesarkan putrimu. Aku yang membuat Isti bisa seperti sekarang. Bukan perempuan jalang selingkuhanmu itu."
"LIDYAA.."
Dibentak oleh Primus, Lidya tersenyum sinis. "Kamu masih mau membelanya? Meskipun sudah bertahun-tahun kamu tidak bertemu wanita itu? Jangan lupa, Primus.. Gara-gara wanita sialan itu, aku kehilangan putri kandungku."
"Tapi kamu juga memisahkan Isti dari ibu kandungnya," sanggah Primus.
"Itu balasan setimpal untuk wanita perebut suami orang seperti dia."
Lidya membanting pintu kamar, menunjukkan kemurkaannya. Ia marah karena meskipun bertahun-tahun sudah berlalu, Primus masih tak bisa menetapkan hatinya pada Lidya.
***
Isti tersenyum bahagia menyadari pemandangan pertama yang ia lihat saat bangun tidur adalah wajah damai ibunya, Kamila Hanum. "Bunda... Bangun, Bun." Ia panggil ibunya dengan lembut, dengan senyum yang masih setia menaungi bibirnya. "Bunda..."
Perlahan, mata tua itu terbuka. Isti dapat melihat mata yang sama seperti mata yang ia miliki ada di depannya. "Subuh dulu, Bun..."
Sang ibu mengangguk. Isti bangkit terlebih dahulu, mendorong kursi roda yang ada di sudut kamar, lalu perlahan membantu sang ibu duduk di kursi tersebut.
"Bunda... Lho, Isti? Kapan kamu datang?"
"Tadi malam, Kak."
Namanya Nina, anak angkat Kamila. Bersama suami dan anak perempuannya, Nina menjaga dan merawat
Kamila seperti ibu kandungnya sendiri. Membuat rasa khawatir Isti sedikit berkurang karena ia tak meninggalkan ibunya seorang diri."Yang bukain pintu?"
Senyum Isti perlahan memudar. "Bunda nungguin Isti sampe tengah malam, Kak," adunya pada Nina.
Seketika Isti teringat kejadian tadi malam. Saat ia tak kuasa menahan tangis dan cemas pada sang bunda, rasa sedihnya kian menjadi, mendapati sang ibu masih duduk di kursi roda menunggu di depan pintu saat Isti tiba. Menanti kedatangan putri tunggalnya dengan senyuman. Tak peduli hari sudah berganti.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding (Selesai ✔)
Ficção GeralMereka menikah karena adanya perjanjian bisnis keluarga. Lantas, apakah mereka juga harus berpisah karena alasan yang sama?