"Pelan-pelan, Nak." Lidya membantu Isti kembali ke ranjangnya, setelah sebelumnya ibu dua anak itu menemani si sulung mengosongkan kantung kemihnya.
"Isti nggak papa, Ma." Sungguh Isti menyukai sikap Lidya yang sejak lama ia nantikan. Tetapi tetap saja Isti merasa sungkan, terlebih karena terkadang Lidya agak berlebihan dalam bersikap.
Meski dokter mengatakan kandungannya baik-baik saja, tetapi Isti tetap tak langsung diizinkan pulang.
"Mama takut kamu jatuh."
Mereka hanya tinggal berdua. Beberapa saat lalu, Masayu dan Putri baru saja pulang usai menjenguknya. Ibu mertua Isti sangat mengkhawatirkannya, apalagi karena ini merupakan kali kedua Isti dilarikan ke rumah sakit selama masa kehamilannya yang masih cukup muda. Lidya terkejut mendengar info tersebut. Sebab ia tak tahu jika sebelum ini, Isti juga pernah menginap di rumah sakit.
"Nggak papa, Ma. Isti baik-baik aja."
"Kamu mau makan sesuatu? Mau apel?"
"Enggak, Ma. Masih kenyang. Mama nggak nyusul Papa ke kantor aja?" Isti ingat jika hari ini ada rapat penting yang seharusnya juga ia hadiri. Namun, karena kondisinya, ia terpaksa absen. Lidya yang merasa bersalah sebab lalai mengawasi Isti pun ikut tak hadir demi menemani putrinya di rumah sakit.
"Mama udah minta Lea menggantikan Mama," jawab Lidya seraya menyebutkan nama sekretarisnya yang sudah lama mengabdi padanya.
"Isti nggak papa sendirian di sini, Ma. Mama pergi aja."
Lidya diam sesaat, tampak tengah mempertimbangkan saran Isti. Seharusnya ia memang menghadiri rapat tersebut. Tetapi ia tak tega meninggalkan Isti sendirian. "Mama ..."
"Nggak papa, Ma." Isti menggenggam tangan Lidya untuk meyakinkan ibu keduanya itu. "Percaya sama Isti."
Menghela napas cukup panjang, Lidya akhirnya percaya jika putrinya akan baik-baik saja. "Segera hubungi Mama jika terjadi sesuatu."
"Iya, Ma."
"Begitu rapat selesai, Mama pasti segera ke sini. Kamu mau Mama bawakan sesuatu?"
Isti langsung menggeleng. Bukan karena segan meminta sesuatu pada Lidya, Isti memang sedang tak menginginkan apa pun saat ini. Selain beristirahat sampai ia diizinkan pulang oleh dokter.
Posisi Isti saat jatuh dapat membahayakan kandungannya karena Isti mengaku dorongan yang ia rasakan cukup kuat. Beruntung Lidya segera datang dan melarikannya ke rumah sakit, hingga kandungannya bisa diselamatkan.
Berdasarkan penjelasan dokter, pada trimester pertama, janin masih kecil, begitu pula dengan rahim yang masih berada di sekitar panggul. Rahim ibu pada trimester pertama masih terlindungi dengan baik oleh tulang panggul. Sehingga, jatuh saat hamil selama trimester pertama tidak akan memengaruhi janin atau plasenta.
Namun, ketika si ibu jatuh dalam posisi terduduk, ia lebih berisiko mengalami kerusakan saraf tulang belakang atau tulang ekor.
Dan karena Isti mengeluh kesulitan saat berjalan, dokter mengatakan akan melakukan pemeriksaan pada tulang ekor Isti.
Kurang dari satu menit yang lalu Lidya pamit ke kantor, pintu Isti kembali diketuk. "Tas Mama ketinggalan," ujar Lidya setelah membuka pintu kamar Isti. Kemudian ia pandang kembali sang putri. "Beneran kamu nggak papa kalau Mama tinggal sendiri?"
"Nggak papa, Ma ...."
"Ya udah, Mama pergi dulu. Jangan lupa minta suster segera hubungi Mama kalau sesuatu terjadi sama kamu."
"Iya, Ma."
Wanita paruh baya itu kembali berjalan menuju pintu. Menatap Isti lagi selama beberapa saat, lalu menutup pintu dengan setengah hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding (Selesai ✔)
Fiksi UmumMereka menikah karena adanya perjanjian bisnis keluarga. Lantas, apakah mereka juga harus berpisah karena alasan yang sama?