Selama dua puluh enam tahun hidupnya, dan tak lagi tinggal seatap dengan wanita yang melahirkannya selama lebih dari dua puluh satu tahun, hari ini menjadi hari teristimewa bagi Isti. Tidur ditemani ibunya, saat bangun masih bisa melihat ibunya, juga ia bisa menikmati sarapan pagi bersama ibu, kakak dan keponakannya.
Cukup seperti ini, Isti sudah merasa bahagia yang luar biasa. Tak ada kemewahan dalam rumah ini. Tak seperti yang ia dapatkan dari Lidya, ataupun dari Regan. Namun, kehangatan keluarga dapat ia rasakan. Meski tahu, ia tak bisa makan satu meja dengan bunda dan papa dan mamanya.
"Tante Isti ..., Nadrah punya kabar gembira."
"Oh ya?" Isti bertanya antusias. "Apa itu, Sayang?"
"Bentar lagi Nadrah mau punya adik kecil. Yeey ...."
Mendengar kabar bahagia itu, Isti ikut merasakan euforia kebahagiaan Nina. "Masya Allah, Kak Nina. Selamat." Ia peluk wanita itu. Nina pun membalas pelukan Isti tak kalah erat.
"Makasih, Dek. Semoga kamu segera nyusul ya."
"Amin, Kak …," ucap Isti. "Kok Kak Nina nggak cerita sama Isti?"
"Tadinya Kakak mau jadikan ini kejutan untuk ulang tahun Mas-mu hari ini. Yang tahu cuma Bunda dan Nadrah. Tapi Nadrah malah bocor. Pulang dari rumah sakit, dia hubungi ayahnya diam-diam. Dia kasih tahu lah kalau sebentar lagi dia mau punya-"
"Assalamu'alaikum.."
"Ayaaaaah.."
Isti, Kamila dan Nina, kompak menoleh ke arah pintu. Sementara Nadrah sudah berlari menyambut kepulangan ayahnya. "Ayah …. Nadrah mau punya adik, Ayah. Yeeyy …."
Pria itu tak kalah bahagia seperti putrinya. Ia gendong putrinya yang sudah berbalut pakaian sekolah, lalu membawa sang putri masuk ke rumah menghampiri sang istri. "Kamu hamil lagi, Nina? Alhamdulillah, Ya Allah."
Ia peluk dan hujani wajah sang istri dengan puluhan ciuman. Tak menyadari jika ada Isti dan Kamila yang melihat ulahnya. "Mas udah. Malu dilihat Bunda," cicit Nina menghentikan suaminya.
Isti turut bahagia dan tersenyum, melihat betapa bahagianya Bilal mengetahui ia akan kembali dikarunia seorang anak.
Isti tak menampik jika dulu, ia sempat menaruh hati pada Bilal. Jauh sebelum Bilal menikah dengan Nina. Namun, ketika Bilal memilih Nina, Isti hilangkan perasaan itu. Ia bahagia, melihat Nina dan Bilal bahagia.
"Astaghfirullah. Maaf, Bun. Loh, ada Isti juga?"
Isti tersenyum menanggapi. "Baru nyadar ada orang yang melihat ya, Mas?" candanya.
Malu, Bilal menggaruk tengkuknya. Lalu pamit dengan alasan ingin membersihkan diri agar bisa mengantar Nadrah ke sekolah.
***
Jika diizinkan memilih, Isti ingin terus bersama ibunya. Menggantikan dua puluh satu tahun hidupnya saat dipisahkan dengan wanita yang melahirkannya ke dunia. Bahkan dulu, Isti baru pertama kali bertemu dengan ibu kandungnya, setelah tujuh tahun terpisah.
Usianya dua belas tahun saat itu, baru saja menginjak bangku sekolah menengah pertama. Saat pulang sekolah, ia melihat seorang wanita berkursi roda menjajakan jualan di pinggir jalan. Ia mengenali wajah wanita itu, lalu berlari menghampiri wanita yang sangat ia yakini sebagai ibunya.
Kamila sempat menolak jika remaja cantik yang menangis di hadapannya adalah putrinya. Meski ia teramat merindu, tetapi ia sadar tak pantas menjadi ibu dari remaja cantik itu. Namun, Isti terus menangis, meminta izin memeluk wanita itu. Hingga Kamila kalah dan menangis bersama putri yang telah lama terpisah darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding (Selesai ✔)
General FictionMereka menikah karena adanya perjanjian bisnis keluarga. Lantas, apakah mereka juga harus berpisah karena alasan yang sama?