Kedua Puluh Tujuh

19.8K 1.9K 97
                                    

Meski bukan wanita yang pernah bertaruh nyawa demi melahirkannya ke dunia, Isti sangat menghormati dan menyayangi Lidya. Jika dihadapkan pilihan antara Lidya dan Kamila, sungguh Isti tak bisa memilih satu di antara kedua ibunya. Isti tak ingin melukai salah satu, atau bahkan keduanya.

Maka saat Regan menanyakan identitas Kamila, Isti tak tahu harus mengatakan apa. Benar jika Isti sudah lelah berbohong. Keinginan terbesar hatinya adalah mengakui mengenalkan Kamila sebagai ibu kandungnya pada Regan. Namun, rasanya ini bukan waktu yang tepat. Saat ia bahkan baru saja berbaikan dengan Lidya.

"Mas Regan ...." Isti memanggil ragu. Kemudian ia pandang Kamila yang sepertinya juga tengah menanti jawaban Isti. "Mas ... ibu ini ... sebenarnya ..."

"Saya pernah mengasuh Isti saat kecil, Pak."

Jawaban itu, meluncur dari bibir Kamila begitu saja. Wanita yang duduk tak berdaya di kursi rodanya, menunduk menahan pilu. Kebohongan tersebut ia cipta, sebab ia tahu putrinya ragu untuk membuka fakta mengenai dirinya. Ditambah apa yang ia saksikan sebelumnya. Bagaimana interaksi putri semata wayangnya dengan wanita yang pernah ia beri luka di masa lampau. Kamila bisa melihat, seberapa besar kasih sayang yang dicurahkan Lidya pada Isti, meski putrinya lahir dari rahim wanita yang menjadi perusak rumah tangganya.

"Oh ...." Hanya itu tanggapan yang diberi Regan. Kemudian pria itu menghampiri Isti. "Sudah makan?" tanyanya sembari mengecek botol infus Isti. "Infus kamu hampir habis. Sudah ada dokter yang visit?"

"Dokter belum datang, Mas."

"Sudah makan?" ulang Regan karena Isti belum menjawab pertanyaannya yang satu itu.

"Udah, Mas." Isti lihat Kamila masih menunduk, seperti enggan menatapnya. "Mas Regan udah makan? Mama Lidya di kantin lagi cari makan siang, Mas."

"Aku sudah makan tadi," jawabnya. "Ibu dan mbak ini, sudah makan?"

Nina menjawab dengan anggukan kepala. Sedangkan Kamila masih tak bersuara, membuat Isti cemas dengan apa yang tengah dipikirkan ibunya itu.

"Lanjutkan saja obrolan kalian, anggap saya tidak ada di ruang ini."

Bagaimana mereka bisa melanjutkan pembicaraan mereka, jika kehadiran Regan membuat mereka tak leluasa berbicara. Terlebih karena ada sebuah fakta yang tak bisa diungkap di depan lelaki itu.

"Mas ..., aku bisa minta tolong?"

"Ya," jawab Regan tak terlalu peduli.

"Aku ... tiba-tiba saja aku kepengin makan jeruk. Mas bisa belikan jeruk untukku?"

Regan melirik keranjang buah yang ada di kamar itu. Tak ada buah jeruk di dalam sana. "Aku tidak tahu, apakah membeli buah juga bisa dilakukan secara online atau tidak?"

"Di depan rumah sakit, ada penjual buah, Mas."

"Tahu dari mana kamu?"

"Rumah sakit ini tempat praktik dokter kandunganku, Mas. Mas Regan juga tahu itu kan? Jadi aku tahu, kalau di depan, ada penjual buah."

Raut wajah Regan, tampak seperti tak bersedia menuruti apa yang diminta Isti. Namun, pria itu bangkit dari posisi duduknya. "Baiklah, tunggu sebentar."

Rasanya, Isti baru bisa menghirup udara setelah Regan keluar dari kamarnya. "Kenapa Bunda berbohong seperti tadi?" tanyanya langsung pada Kamila.

"Bunda tidak sepenuhnya berbohong, Nak. Saat kamu kecil, Bunda memang pernah mengasuh kamu."

"Bunda ...."

"Bunda mengerti posisi kamu sulit untuk mengakui Bunda di depan suami kamu, Nak. Bunda juga tidak menginginkan sebuah pengakuan. Melihat Mbak Lidya menyayangi kamu seperti putri kandungnya sendiri, Bunda sudah bahagia."

The Wedding (Selesai ✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang