Tepat pukul tujuh pagi, Isti sudah siap dengan riasan sederhananya. Pakaian tidur yang ia kenakan malam tadi saat menginap di kediaman Kamila, sudah ia masukkan ke dalam tas pakaiannya. Ia cek sekali lagi barangnya, memastikan tidak ada barang yang tertinggal.
Sejujurnya Isti merasa berat. Ia masih ingin tinggal bersama Kamila lebih lama. Dengan Kamila, ia benar-benar merasa dimanja, meski dengan keterbatasan yang dimiliki ibunya itu.
Masih lekat di ingatan Isti betapa bahagia Kamila saat Isti memberitahu kabar kehamilannya. Kamila bahkan sampai menangis haru, membuat Isti tak kuasa menahan tangis. Sebab hanya Kamila seorang, yang sampai meneteskan air mata saat mendengar berita bahagia tersebut.
"Pulang sekarang, Nak?" Mendorong perlahan kursi rodanya, Kamila masuk ke kamarnya, yang juga ditempati Isti saat menginap di rumah itu.
"Iya, Bun." Kemudian Isti bangkit dari kursi riasnya. Menghampiri Kamila lalu berjongkok di depan kursi roda ibunya. "Isti masih mau di sini sebenarnya, tapi Isti juga harus kerja, Bun."
Ada ketidakrelaan yang tampak jelas di mata Kamila. Menghabiskan waktu satu malam dengan putri tunggalnya ini, tentu tak cukup. Meski Kamila sadar jika sang putri kini sudah memiliki keluarga sendiri. Putrinya tak lagi sebebas dulu saat ingin menemuinya. Meski saat sebelum menikah pun, Isti tak begitu leluasa bertemu dengannya.
"Isti janji bakal sering mampir ketemu Bunda."
Walau Kamila tak yakin dengan janji tersebut, wanita paruh baya itu tetap saja mengangguk seraya tersenyum. Bukan karena ia tak percaya pada janji yang diucap putrinya, tetapi karena ia tahu putrinya tak memiliki kebebasan untuk bertemu dengannya.
"Kamu nggak ngalami mual dan muntah, Nak?"
Mendengar pertanyaan itu, Isti baru tersadar jika sejak bangun pagi tadi sampai sekarang, ia tidak merasakan mual sedikit pun. "Sepertinya cucu Bunda senang Isti ajak ketemu neneknya. Dia anteng banget, Bun."
Nenek? Ah iya, Kamila lupa sebentar lagi ia akan menjadi seorang nenek. Putri kecilnya, yang dahulu tak pernah bisa tidur jika tak ia peluk, akan menjadi seorang ibu seperti dirinya dalam beberapa bulan ke depan.
"Isti ... kalau Bunda bilang masih ingin bersama kamu beberapa jam lebih lama lagi, kamu keberatan?"
Jangankan beberapa jam, sepanjang hidupnya pun Isti ingin menghabiskan waktunya bersama Kamila. Menggantikan ribuan hari, jutaan jam, milyaran detik, yang ia lewati sendiri tanpa kehadiran Kamila.
Kemudian Isti putuskan untuk menghubungi Hera. Memberitahu sahabat merangkap sekretarisnya itu bahwa ia akan datang sedikit terlambat hari ini.
***
"Isti mau dengar cerita Bunda selama mengandung Isti."
Tiba-tiba saja Isti penasaran dengan kisah Kamila saat mengandungnya dulu. Mengingat sejauh ini, cukup berat yang ia rasakan saat mengandung bayinya, tentu Bunda mengalami hal serupa.
"Hm ... Bunda nggak ngalami hal yang aneh-aneh waktu hamil kamu. Yang aneh kayaknya cuma Bunda nggak bisa tidur kalau nggak nyium bau keringat papamu. Makanya kalau papamu datang, Bunda minta bajunya dilepas. Biar jadi teman Bunda tidur."
Kamila memang menceritakannya dengan tawa kecil, tetapi Isti tahu, ada luka yang Kamila rasakan saat menceritakannya.
"Awalnya papamu heran, karena biasanya Bunda nggak suka nyimpan pakaian kotornya. Tapi lama kelamaan papamu ngerti. Malah sengaja olahraga, lari-lari di sekitaran rumah supaya keringatan. Semakin bau keringat, Bunda malah makin senang."
Isti bisa membayangkan bagaimana papanya berlari-lari di sekitar rumah untuk memenuhi permintaan Kamila. Isti sangat mengenal Primus dengan baik. Ia tahu seperti apa papanya itu. Pria penyayang yang dulu sering Isti rindukan kehadirannya, selalu Isti tanyakan kehadirannya pada Kamila. Sayang, saat ia bisa selalu bersama Primus, Isti malah dipisahkan dengan Kamila.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding (Selesai ✔)
General FictionMereka menikah karena adanya perjanjian bisnis keluarga. Lantas, apakah mereka juga harus berpisah karena alasan yang sama?