Regan tidak mempercayai penglihatannya saat ini. Ia sampai mengerjab beberapa kali, demi memastikan yang ia lihat pada layar monitor di depannya memang nyata.
"Usia kandungannya memasuki minggu kelima." Dokter wanita itu menggerakkan alatnya di atas perut Isti. Sama seperti Regan, Isti pun masih tak mempercayai apa yang ia lihat.
Bohong jika ia tak bahagia dengan kehamilannya ini. Tiga bulan menikah, selama itu pula Isti terus menanti kapan saatnya ia diberi kesempatan emas menjadi seorang ibu. Di setiap sujud terakhirnya, Isti tak pernah alpha menyisipkan doa agar Tuhan mau bermurah hati padanya.
Namun, Isti tak mau mengumbar harap. Cukup ia dan Tuhan yang tahu seberapa tak sabarnya Isti menanti, kapan bisa merasakan sesosok makhluk bernyawa ada dalam tubuhnya. Isti tak menunjukkan pada orang lain seberapa besar ia berharap. Karena yang Isti tahu, yang perlu ia lakukan hanya berusaha dan terus berdo'a.
"Anda tidak sedang membohongi saya kan?"
Pertanyaan Regan tersebut disambut tawa oleh dokter wanita yang tengah membantu Isti bangkit dari kasurnya. "Suami Ibu terlalu bahagia sepertinya. Sampai masih tidak menyangka jika sebentar lagi akan menjadi seorang ayah," ujar dokter tersebut pada Isti.
Isti balas dengan senyum tipis. Ia tak berniat terlalu menanggapi. Sejujurnya masih ada rasa sakit akibat kalimat keji Regan saat mereka tiba di rumah sakit. Meski Isti sadar, jika rasa sakitnya itu sudah dibayar dengan hadirnya janin kecil dalam rahimnya. Janinnya masih sangat kecil, karena usianya baru menginjak minggu kelima. Namun, Isti mulai bisa merasakan kehadiran janin kecil itu dalam raganya.
Anaknya ....
Buah hatinya ....
Ya Tuhan ..., betapa Isti ingin menangis rasanya. Ia bahagia, sangat bahagia. Pepatah yang mengatakan pelangi akan terbit usai hujan nyatanya benar. Kini Isti mulai bisa mencicipi indahnya pelangi tersebut, setelah banyaknya cobaan yang ia lewati sejauh ini.
Mungkin, bahagia seperti ini juga yang dirasakan Bunda saat pertama kali mengetahui kehadiran Isti di dalam rahimnya. Isti jadi merindukan Bunda dan ingin memeluk wanita hebatnya itu.
"Mohon maaf sebelumnya, Pak Regan dan Bu Isti. Saya menemukan kista dalam rahim, Bu Isti."
"Apa?"
Jika Regan sanggup bertanya dengan nada tinggi, yang bisa Isti lakukan hanya meremas pegangan kursi yang ia duduki.
"Ditemukannya kista pada rahim, belum tentu menyebabkan masalah pada kehamilan. Ukuran kistanya kecil. Sejauh ini saya pastikan tidak berbahaya. Karena kista bisa mengecil dan menghilang dengan sendirinya seiring bertambahnya usia kehamilan. Yang perlu dilakukan hanya terus memantau perkembangan kista tersebut."
"Lalu bagaimana jika ukurannya semakin membesar dari hari ke hari? Itu akan membahayakan anak saya."
Isti masih tak sanggup bicara. Ia terlalu terkejut mendengar kabar tersebut. Ia kira, bahagia mulai menyapanya. Nyatanya takdir masih senang mempermainkan hidupnya.
Sebuah kista?
"Jika sampai hal tersebut terjadi, kita memang harus mengeluarkan kista tersebut melalui tindakan operasi, Pak. Tapi sebaiknya kita berpikir positif saja. Jangan pikirkan hal-hal buruk yang nantinya mempengaruhi mood sang ibu. Bu Isti tidak boleh stres, karena stres akan mempengaruhi perkembangan janin. Kurangi pekerjaan berat, jaga pola makan, saran saya hindari junk food. Untuk Pak Regan, dukung istri Bapak melewati masa-masa sulitnya di awal kehamilan ini. Sejauh ini, Bu Isti belum mengalami morning sickness?"
Di tengah kebingungannya, Isti beri anggukan sebagai jawaban. Ia memang belum mengalami fase tersebut. Pusing, mual, muntah, satu pun tak ia rasakan hingga Isti tak menyadari jika dirinya tengah mengandung.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding (Selesai ✔)
Ficción GeneralMereka menikah karena adanya perjanjian bisnis keluarga. Lantas, apakah mereka juga harus berpisah karena alasan yang sama?