Ketiga Puluh Enam

9.3K 1K 17
                                    

Setelah puas menikmati keindahan berbagai surga tersembunyi yang ada di Kalimantan selama empat hari tiga malam, Isti dan Regan harus kembali ke Jakarta. Walau sejujurnya, Isti masih ingin menetap lebih lama di sana, tetapi Isti ingat bahwa ia dan Regan harus kembali menjalani aktivitas harian mereka sebagaimana mestinya.

Namun, sepertinya Regan tak sepemikiran dengan Isti. Setibanya mereka di Balikpapan, Regan membatalkan penerbangan mereka ke Jakarta.

"Kita pulang ke Jakarta besok saja."

Meski bingung dengan keputusan mendadak Regan, Isti tetap mengikutinya. Regan mencari hotel yang letaknya tak jauh dari bandara menggunakan ponsel Isti. Lelaki itu benar-benar tak mengaktifkan ponselnya.

"Kenapa nggak langsung balik ke Jakarta, Mas," tanya Isti yang tak mampu menutupi rasa penasarannya. Mereka sudah tiba di hotel sejak satu jam lalu. Kini keduanya sedang berada di restoran, menunggu makanan mereka diantar.

"Besok aku harus berangkat ke Belitung. Anggap saja aku ingin sehari lebih lama bersama kamu."

Isti berharap Regan tak melihat pipinya merona mendengar ucapan lelaki tersebut. Liburan yang harusnya mereka nikmati berdua, hanya benar-benar keduanya nikmati di hari terakhir. Sebab dua hari pertama, Kiran dan keluarganya selalu ikut dengan mereka.

Berdehem kecil yang sepertinya tak didengar Regan, Isti melirik suaminya yang tengah memejamkan mata. Kelelahan jelas tergambar di wajah tampan pria tersebut. Entah karena sadar tengah diperhatikan oleh Isti, Regan membuka mata. "Aku pinjam ponsel kamu."

Menyerahkan ponselnya pada Regan, Isti baru menyadari jika selama beberapa hari terakhir, ia tak melihat ponsel lelaki itu. Regan selalu menggunakan ponselnya saat membutuhkan sesuatu. "Aku nggak lihat hp kamu, Mas."

"Ada di koper," jawabnya santai. "Halo, Ma. Aku dan Isti nggak jadi balik ke Jakarta hari ini."

Isti membiarkan Regan berbicara dengan Masayu. Meski tak mendengar apa yang Masayu katakan, Isti tetap menyimak pembicaraan ibu dan anak tersebut.

"Terima kasih."

"Hp kamu rusak, Mas?"

Regan menggeleng. "Enggak. Aku cuma malas menggunakannya."

Meski ragu dengan alasan Regan, Isti tak lanjut bertanya. Regan pasti punya alasan mengapa tak mengaktifkan ponselnya selama mereka tidak berada di Jakarta.

Beberapa saat kemudian, Kiran mengiriminya sebuah foto.

"Masya Allah ..., lucu banget."

Isti menunjukkan foto Kama dan Kalila pada Regan. Regan ikut tersenyum melihat potret kedua balita menggemaskan tersebut.

"Kamu tahu alamat rumah mereka? Aku ingin sesekali bertemu Kama di Jakarta."

Regan menyerahkan kembali ponsel Isti.

"Mas suka banget sama Kama ya?"

Tanpa berpikir, Regan segera mengangguk mengiakan.

"Aku yakin, kamu pasti akan jadi ayah yang baik untuk anak kita, Mas."

Lagi-lagi Regan tersenyum. Ia pandangi perut Isti yang kian membesar. "Aku akan berusaha menjadi yang terbaik untuk kalian.  Dan nantinya, aku akan mendidiknya agar menjadi anak laki-laki yang kuat dan tangguh."

"Kenapa kamu sangat yakin gender-nya laki-laki, Mas?"

"Aku hanya yakin. Feeling-ku mengatakan bahwa dia laki-laki."

"Bagaimana kalau perempuan, Mas?"

Regan menggeleng. Ia tetap berpegang teguh pada keyakinannya bahwa calon anak pertamanya yang masih berada dalam kandungan Isti, berjenis kelamin laki-laki.

The Wedding (Selesai ✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang