Ada satu hal yang sangat disayangkan Isti, yang tidak dapat dilakukan Isti sebab kondisinya yang tengah berbadan dua, yaitu bersepeda. Padahal pihak pengelola villa menyediakan fasilitas bersepeda mengelilingi pulau secara gratis untuk tamu mereka.
Sungguh sangat disayangkan. Sebab perutnya sudah kian membesar. Berboncengan mesra dengan Regan pun tak mungkin dilakukan. Selain karena Regan belum tentu bersedia melakukannya, aktivitas tersebut pun bisa jadi berbahaya untuk Isti.
"Mas Regan mau sepedaan?" Nada suara Isti saat bertanya, ia usahakan sebiasa mungkin. Tak mau menunjukkan kekecewaannya karena tak bisa ikut melakukan aktivitas tersebut.
"Kamu nggak masalah aku tinggal?" tanya Regan balik.
Isti mengangguk. "Ada temanku, Kiran, Mas."
Beberapa saat lalu Kiran menghubunginya. Menanyakan apakah suami Isti akan bersepeda pagi ini, sebab Ranggih, suaminya tak ingin bersepeda sendirian. Sebenarnya di usia kandungan Kiran yang masih di trimester awal, masih aman untuk ikut bersepeda. Dan Kiran mengatakan bahwa ia pun sebenarnya ingin ikut. Hanya saja, mereka memiliki Kama dan Kalila yang tidak mungkin ditinggalkan di kamar villa.
"Kalau Mas nggak keberatan, suaminya Kiran mau ngajak Mas Regan sepedaan bareng."
"Kamu beneran nggak keberatan kalau aku pergi sendiri?"
"Nggak papa, Mas."
Regan menimbang selama beberapa saat, kemudian meminta Isti menghubungi Kiran dan mengatakan bahwa ia setuju pergi bersama suami teman lama Isti itu.
Walau ada perasaan sedih dan kecewa, tetapi Isti tetap bersyukur. Sebab Regan sudah sudi mempertimbangkan perasaan Isti.
Beberapa bulan lalu, keduanya juga pernah pergi liburan berdua. Berbulan madu kalau kata orang. Selama satu minggu di Pulau Dewata waktu itu, mereka tak pergi ke mana-mana. Hanya stay di hotel nyaris selama 24 jam penuh. Kalau pun pergi, keduanya punya tujuan masing-masing. Tak pernah pergi berdua. Meski Isti selalu meminta izin dan berpamitan pada Regan, tetapi suaminya itu hanya pergi keluar saat ingin dan tak pernah mengajak Isti turut serta.
Harus diakui Isti, hubungannya dan Regan sudah melalui perubahan yang luar biasa. Meski Regan tetaplah Regan yang sama, tetapi Isti tetap mensyukuri progres baik dari suaminya. Bertanya apakah Isti baik-baik saja jika Regan pergi tanpanya saja, sudah membuat perasaan Isti menghangat.
Beberapa saat setelah Regan pamit, Kiran mengetuk pintu kamarnya, bersama kedua bayi mungil yang sudah rapi dan wangi, memegang tangan ibu mereka di dua sisi berbeda.
"Boleh bertamu kan, Tante Isti?"
***
Siang harinya, Regan mengatakan ada satu tujuan yang sangat ingin ia kunjungi saat mencari informasi mengenai objek wisata di Pulau Maratua ini.
"Bagaimana kalau kita ke Pulau Kakaban?"
Isti mengangguk dengan semangat. Ia pun sudah mencari informasi seperti yang Regan lakukan. Berenang dan melihat ubur-ubur di danau yang terletak di Pulau Kakaban.
Tiba di Pulau Kakaban, Isti, Regan, serta keluarga kecil Kiran masih harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki sejauh 500 meter. Pak Muhammad, penjaga Pulau Kakaban menjelaskan bahwa ubur-ubur yang ada di danau, sama sekali tidak menyengat. Jadi, pengunjung tidak perlu takut untuk menceburkan diri ke danau. Namun begitu, tetap saja ada peraturan-peraturan yang harus dipatuhi pengunjung jika ingin berenang di Danau Kakaban. Seperti tidak boleh menggunakan sunblock atau krim sejenis, yang ditakutkan dapat mencemari air danau. Tidak boleh menggunakan fins atau kaki katak, tidak boleh memegang atau mengangkat ubur-ubur keluar dari air, serta tidak boleh melompat saat masuk ke danau. Semua aturan tersebut bermaksud agar tidak melukai dan membahayakan ubur-ubur.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding (Selesai ✔)
General FictionMereka menikah karena adanya perjanjian bisnis keluarga. Lantas, apakah mereka juga harus berpisah karena alasan yang sama?