Sudah hampir pukul sepuluh malam saat Isti menyelesaikan pekerjaannya. Kalau bukan karena besok akan digelar rapat penting yang memaksanya harus menyelesaikan pekerjaan malam itu juga, Isti tak akan memaksa tubuhnya untuk tetap bertahan di kantor sampai semalam ini.
Beruntung Regan belum kembali ke Jakarta. Lelaki itu sempat mengabarkan jika besok ia akan kembali, tetapi bukan dengan penerbangan pertama. Jadi Isti tak harus buru-buru menyiapkan makanan untuk suaminya yang manja itu, dan ia bisa menghadiri rapat yang juga akan dihadiri Lidya, Primus, serta petinggi perusahaan lainnya.
Isti Fashion yang ia kelola hanya salah satu cabang dari perusahaan milik keluarga Lidya yang memang bergerak di bidang industri busana dan kecantikan. Orang-orang akan mengira jika nama Isti Fashion, sesuai dengan nama Isti, berarti ia merupakan pemilik usaha tersebut. Atau setidaknya, ia memiliki kuasa besar atas usaha tersebut. Sayangnya, Isti tahu, nama itu bukan ditujukan untuknya, melainkan untuk mengenang putri kandung Lidya yang telah tiada. Yang kepergiannya hanya diketahui oleh Lidya, Primus, Isti, Kamila, serta mungkin beberapa orang kepercayaan Lidya. Orang tua Lidya sendiri tahu jika Isti yang asli telah lama tiada. Oleh sebab itu, Isti tak pernah dianggap ada oleh orang tua Lidya, sampai mereka mengembuskan napas terakhir.
"Pulang sendiri, Ti?" Hera yang ikut lembur bersama Isti, bertanya saat melihat bosnya itu sudah bersiap untuk pulang. "Nggak dijemput suami?"
"Suami aku masih di luar kota, Her."
"Supir? Nggak mungkin banget sekelas Regan Hutama nggak punya supir pribadi? Atau ikut diajak ke luar kota juga?"
"Supir Mas Regan aku liburin selama Mas Regan nggak di Jakarta."
"Kenapa kamu nggak pake supir pribadi juga sih, Ti? Lagi hamil gitu."
"Nggak papa, Her. Aku lebih suka bawa mobil sendiri." Karena Isti takut geraknya akan semakin terbatas jika ia mempekerjakan supir pribadi untuknya. Isti jadi tak bisa curi-curi waktu menemui Kamila. "Kamu pulang sama siapa, Her?"
"Aku dijemput Robi. Atau mau bareng aja? Mobilmu kan bisa ditinggal di kantor."
"Nggak usah, Her. Kamu kan tahu, besok ada pertemuan penting di kantor pusat. Repot kalau mobil harus ditinggal."
Hera mengangguk kecil, meski sebenarnya masih kurang setuju membiarkan Isti pulang menyetir sendirian malam-malam begini. "Kalau gitu kamu hati-hati ya. Robi udah nunggu. Aku duluan ya, Ti," pamit Hera.
Hanya mobil Isti yang tersisa di parkiran. Sudah pasti begitu, sebab jam pulang kantor sudah berlalu hampir lima jam lalu. Setelah menekan klakson satu kali, untuk berpamitan pada security yang bertugas jaga malam ini, Isti mulai melajukan kendaraan roda empat miliknya menjauh dari gedung kantor.
Selain melalui jalan besar, Isti tahu ada jalan pintas yang bisa ia tempuh dari kantor ke rumahnya yang tak perlu menghabiskan banyak waktu. Namun, jalanan tersebut agak sepi. Biasanya Isti hanya berani melalui jalan tersebut di siang hari. Tetapi malam ini, Isti beranikan diri melalui jalan tersebut, karena merasa sudah terlalu letih dan butuh segera istirahat di rumahnya.
Seperti yang Isti tebak, jalan tersebut sepi. Hanya ada beberapa orang yang ia temui saat melintasi jalan tersebut. Kemudian sesuatu yang tidak Isti harapkan terjadi. Mesin mobilnya melemah, kemudian mobilnya berhenti.
Bensinnya ada, meski tak penuh. Tetapi Isti yakin, bahan bakar mobilnya masih cukup untuk mengantarkan Isti sampai rumah. Lalu apa yang menyebabkan mobilnya berhenti sekarang?
Keluar dari mobil, Isti berharap menemukan seseorang yang bisa menolongnya. Sungguh ia sudah sangat lelah menghadapi pekerjaan sebelumnya. Mengapa sekarang ia harus dihadapkan dengan mobilnya yang bermasalah?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding (Selesai ✔)
General FictionMereka menikah karena adanya perjanjian bisnis keluarga. Lantas, apakah mereka juga harus berpisah karena alasan yang sama?