32

541 53 11
                                    

"Kemana Farren? Apa ia tidak ikut makan malam Bersama?" Tanya Ayah saat Ibu menyajikan makanan.

"Dia sedang sibuk di kamarnya, sepertinya akan ada sidang dekat-dekat ini. Oiya Keyna, nanti tolong kau antar makanan Farren ke kamarnya ya, sekalian beri ia semangat. Ia terlihat begitu sibuk belakangan ini." Aku hanya tersenyum mengangguk mengiyakan permintaan Ibu.

Mengantarkan makanannya kah? Hal yang mudah namun butuh keberanian besar untukku. Tidak mudah menatap matanya tanpa perasaan berkecamuk.

"Bagaimana dengan persiapan pesta tunangan Farren? Acaranya 3 minggu lagi kan?"

Aku menahan napasku mendengar pertanyaan Ayah.

"Sepertinya berjalan dengan lancar. Emira sangat antusias, jadi sebagian besar persiapan ia yang mengerjakannya."

"Apa Farren ikut membantu Emira?"

"Sepertinya tidak, pekerjaannya sangat menyita waktu."

"Ah memang benar-benar anak itu, mau ditaruh dimana wajah Ayah pada Rahman."

"Tolong maklumi, setidaknya ia sudah tidak menolak pertunangan ini bukan?" Ujar Ibu sambal menggenggam tangan Ayah menenangkan.

"Oiya Keyna, apa kau sibuk besok?" Kini Ibu beralih menatapku.

"Tidak juga, aku tidak ada acara akhir pekan ini."

"Bisa kau antar Emira membeli souvenir besok? Sepertinya ia juga akan ke butik, tadi ia berkata ingin menambahkan detail pada baju untuk pesta tunangan. Dan seperti yang kau tahu, Farren masih sibuk jadi ia tak bisa mengantar Emira."

"Ya, aku akan meluangkan waktuku besok." Aku memaksakan sebuah senyuman.

Mengantar tunangannya huh? Aneh rasanya menyebut wanita lain sebagai tunangannya, sedikit terbesit rasa iri dan cemburu. Ayolah Keyna kuatkan hatimu, hubungan kami benar-benar sudah berakhir bukan? Kau harus terbiasa sebelum gelarnya berubah menjadi istri, sebelum semakin menyakitkan.

"Ibu, aku ingin ayam goreng." Tunjuk Ares pada ayam goreng yang berada jauh dari jangkauannya.

Aku tersadar dari lamunanku lalu mengambil sepotong ayam goreng dan menaruhnya di piring Ares.

"Terimakasih, Bu." Ucapnya dengan senyuman menawan.

Ah, aku sampai lupa. Aku masih memiliki Ares bukan? Malaikat kecil ku yang dikirim Tuhan lewat Farren. Mungkin ini skenario terbaik yang Tuhan berikan padaku, aku memang tak bisa bersamanya tapi aku masih memiliki senyum manisnya yang bisa ku nikmati pada Ares dan juga jangan lupakan warna matanya yang sama persis dengan Farren. Justru ia adalah hadiah terindah yang Tuhan berikan padaku, selalu ada sisi kebahagiaan di setiap derita bukan?

*

Aku mengetuk pintu hitam di hadapanku beberapa kali lalu membuka pintu perlahan. Mataku menanangkap Farren yang sedang serius dengan kertas di tangannya. Rambut yang berantakan dengan kacamata bulat bertengger manis di hidungnya, alis berkerut dan lidah yang beberapa kali membasahi bibirnya, ah bagaimana ia bisa terlihat begitu sempurna?

Tak lama ia tersadar akan kehadiranku menoleh menatapku sebentar.

"Ada apa?"

"Ah, ini Ibu memintaku mengantarkan makan malammu. Apa kau masih sibuk?"

"Tidak apa, taruh saja di meja nakas."

Aku melangkah masuk dan meletakkan makanan yang ku bawa di meja nakas. Aroma khasnya menyeruak memenuhi hidungku, ah aroma yang ku rindukan. Aku teringat pesan Ibu untuk memberinya semangat, seketika otakku kosong bingung apa yang harus aku katakan.

Hujan Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang