23

524 57 3
                                    

Aku menatap sendu foto yang terbingkai rapih di tanganku. Kusentuh wajah tersenyum Ibu dan Oom Aldi yang menggendong Ara. Dibelakang mereka terdapat aku dan Farren yang terseyum lebar.

Aku tersenyum dan mengusap pipiku yang basah. Aku jadi teringat dengan kenangan dulu. Foto ini diambil saat kami liburan ke Bali. Awalnya, kami hanya berniat foto keluarga dengan formal. Aku yang merasa kalau itu sangat kaku meminta kami berfoto dua kali dengan gaya nonformal. Rindu rasanya mengingat kenangan saat kami bersama dulu.

"Ibu? Kenapa Ibu menangis lagi saat menatap foto itu?" Ares yang muncul tiba-tiba memelukku dari belakang seraya menunjuk figura di tanganku.

"Mereka adalah keluarga Ibu."

"Keluarga?"

"Mereka adalah kakek dan nenekmu. Kau tahu, kau memiliki seorang bibi yang hanya berumur satu tahun lebih tua darimu?" Mata Ares menunjukkan antusias.

"Benarkah? Kenapa kita tak pernah menemui mereka?"

"Kau ingin bertemu dengan mereka?"

"Eumm, tentu saja!" Ia menganggukan kepalanya cepat.

"Tunggu sebentar lagi, Ibu berjanji akan mempertemukanmu dengan keluarga Ibu."

Maafkan Ibu yang selalu menjadi pengecut. Aku tak bisa melarikan diri terus. Aku mencium tangan kecil Ares yang melingkari leherku dan menatap foto itu dengan menerawang.

****

Kutatap daun pintu dihadapanku dengan gugup. Angka 407 seakan-akan adalah angka kematian yang akan merenggutku kapanpun.

Ayolah, apa yang kau takutkan? Bukankah semalam kau sudah yakin dengan keputusanmu? Bagaimana nanti kau membawa Ares? Menunjukkan wajahmu saja sudah membuatmu gugup.

'Semangat! Kau bisa, Keyna!' Gumamku dalam hati.

Kugeser perlahan pintu itu dan melangkahkan kakiku perlahan. Seketika, semua mata diruangan itu tertuju padaku. Aku menatap mata Ibu yang memandangku terkejut

*

Diam, tak ada suara yang keluar dari mulut kami. Lagi-lagi keheningan menguasai kami.

"Ibu, apa kabar?" Ucapku memecah keheningan.

Kulirik Ibu yang masih menatap lurus udara kosong.

"Ibu sehat selama ini?" Kini tangannya mencengkram ujung roknya, bibirnya mulai bergetar dan matanya berair.

"Ibu, aku merindukanmu." Kusentuh tangan Ibu dengan air mata yang tergenang di pelupuk mataku.

"Ibu, aku minta maaf."

"Aku minta maaf." Ucapku bergetar.

Tak lama, tangis Ibu pecah dan mencengkram tanganku yang menggenggam tangannya.

"Ibu, maafkan aku..." Aku memeluk ibu dengan salah satu tanganku yang terbebas.

"Dimana saja kau selama ini? Kenapa tidak pulang?" Kali ini Ibu mengeluarkan suaranya.

"Maaf, aku tak sanggup menemui Ibu. Aku terlalu takut." Ibu membalas pelukanku.

"Kenapa tak pulang selama ini? Ibu menunggumu setiap hari."

"Maaf telah mengecewakanmu, Ibu," aku hanya bisa menunduk dalam tak berani menatap matanya. "Maaf aku tak bisa menjaga diriku sendiri." Ibu menggeleng dan menyentuh wajahku.

"Kenapa kau tak menceritakannya pada Ibu?"

"Aku tak sanggup melihat wajah kecewa Ibu." Aku membalas menatap wajah Ibu.

Hujan Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang