11

5.2K 247 19
                                    

Aku mengerutkan keningku dan memegangi kepalaku yang terasa sangat pening saat aku terbangun dari tidurku. Suara ketukan pintu membuatku terpaksa menolehkan kepalaku ke sumber suara.

"Keyna? Kau didalam? Apa kau ingin sarapan? Atau mau diantar kekamarmu?" Tanya seseorang dari balik pintu.

"Tidak usah bu, aku akan turun nanti setelah mandi," Ucapku parau.

Jujur, ingin sekali sarapanku diantar ke kamarku, namun mengingat kemarin aku meminta makan siang dan makan malamku diantar, sangat tidak sopan. Pasalnya, rumah ini adalah milik Oom Aldi, aku tidak bisa seenaknya bertingkah. Dan juga, aku tidak bisa mengurung diriku dikamar selama dua hari berturut-turut, sudah cukup kemarin aku mengurung diri selama seharian penuh. Bukankah itu hanya akan menimbulkan kecurigaan?

Aku menyibakkan selimutku lalu berjalan dengan gontai menuju kamar mandi. Aku menatap lelah pantulan wajahku dicermin. Lihatlah, mataku terlihat membengkak dan sembab efek karena semalaman menangis, jangan lupakan bibir pucat dan raut wajah sayu semakin memperburuk penampilanku.

Pandanganku turun menuju perutku yang masih datar lalu menyentuhnya perlahan dengan perasaan berkecamuk. Jantungku berdebar saat menyentuhnya. Benarkah ada sebuah janin didalam sana?

Ada perasaan takjub, sedih, khawatir, bingung bercampur menyesal saat mengetahui ada sesuatu yang tumbuh dan berkembang didalam tubuhku.

Aku memang belum pernah melihat wujudnya, namun entah kenapa aku bisa merasakan kehadirannya. Tanpa kusadari, sebuah senyum terukir dibibirku dan setetes air mata yang meluncur dari sudut mataku.

Mampukah aku dengan tega membunuhnya disaat hanya dengan menyentuhnya, muncul naluri kasih sayang mendalam yang entah darimana munculnya?

Ya, aku telah memikirkannya semalaman. Hanya ada dua pilihan, melanjutkannya atau aborsi. Jika melanjutkannya, aku harus mengakuinya dengan resiko keretakan rumah tangga Ibu dan Oom Aldi, aku tidak ingin itu terjadi, Ibu dan Oom Aldi juga akan sangat kecewa kepadaku. Oh, aku tidak sanggup membayangkan tatapan kecewa mereka padaku.

Lalu bagaimana dengan aborsi? Kau pasti tahukan? Mungkin itu adalah jalan pintasnya, namun bagaimana bisa aku menggugurkannya saat naluriku berkata bahwa aku sangat ingin melindunginya, bahkan terbesit sedikit rasa bahagia dihati kecilku? Entahlah, aku tidak bisa memutuskannya sekarang.

Aku melangkah dengan gontai menuju meja makan dan duduk di salah satu kursi.

"Terimakasih, Bu," ucapku saat Ibu memberikan sepiring nasi. Aku mulai menyendokkan beberapa sendok nasi yang terasa begitu hambar.

Aku menoleh terkejut mendapati Farren yang telah duduk di sebelah kananku. Ia terlihat mengenakan pakaian rapih. Seketika tanganku bergetar dan air mataku mulai menyeruak keluar. Ingin sekali aku berteriak di depan wajahnya bahwa aku telah hamil anaknya dan meminta pertanggung jawabannya. Ya, itu hanya akan terjadi di imajinasi terliarku.

"Kau jadi pergi?" Tanya Oom Aldie pada Farren.

"Ya, aku sedang menunggu kabar dari Kania."

Deg! Dadaku terasa mencelos mendengarnya. Pergi? Bersama Kania?

"Ah baguslah, jika kau bisa berhubungan baik dengannya mungkin rencana pertunangan kalian akan berhasil."

Aku menundukkan kepalaku menahan tangis. Sial, aku mengandung anakmu dan bisa-bisanya ia membicarakan pertunangan dengan gadis lain di depanku.

Ah, aku merasa akan memuntahkan seluruh isi perutku. Aku berdiri dari kursiku hendak ke kamar.

"Keyna, kau tidak menyelesaikan makananmu?"

Hujan Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang