1

8.7K 333 3
                                    

Bandung, 2015

Ramai, sesak dan penuh. Aku mencoba untuk menembus kerumunan orang yang terlihat sibuk dengan urusan mereka, tak sedikit dari mereka yang berlari kecil dengan wajah panik karena diburu waktu. Aku melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tanganku.

"Sial, tiga puluh menit lagi," Rutukku pelan.

Aku terbatuk pelan karena asap kendaraan yang terhirup terlalu banyak membuat paru-paruku terasa sesak. Udara di kota ini memang sejuk, namun tidak menutup kemungkinan akan polusi yang mencemari jika terlalu banyak kendaraan yang menumpuk. Tidak separah di Jakarta memang, namun udara di kota ini sudah tidak bisa dibilang sehat.

Aku mempercepat ayunan kakiku menuju gedung pernikahan. Sial, waktuku tinggal sedikit dengan penampilam kumelku dan bahkan aku belum mengganti baju. Andai saja dosen tadi tidak mengoceh terlalu lama, ingin sekali kubungkam bibir tebalnya. Semua kata yang keluar dari mulutnya tak lebih dari sekedar keluhan dan omelan dari sistem pemerintahan yang tak jelas. Aku akan mendengarkan ocehannya jika saja jurusanku ilmu pemerintahan. Yang benar saja, ia adalah dosen kimia terapan. Dan ocehannya itu sama sekali tidak berhubungan dengan mata kuliahnya. Huft.

*

Aku mematut diriku di cermin besar di hadapanku lalu mengerutkan kening. Tidak buruk, rupanya pilihanku tidak salah. Kebaya terusan yang melekat ditubuhku tak bisa dikatakan mewah, hanya dengan warna lembut dan hiasan payet sederhana. Setelah puas dengan penampilanku, aku beranjak ke kamar pengantin.

Aku mengetuk pintu di hadapanku dan membuka pintu perlahan. Aku melangkahkan kakiku perlahan memasuki kamar seraya menyapukan mataku ke seluruh ruangan. Warna putih dan suasana cerah mendominasi ruangan, cat dinding yang berwarna putih, tirai, hiasan dinding, sebuah sofa besar di tengah ruangan, dan juga hiasan bunga mawar merah di setiap sudut ruangan, membuat aroma mawar merah menyeruak. Sesaat, aku terlena karenanya.

Pandanganku terhenti di sebuah cermin besar yang memantulkan siluet seorang wanita cantik yang terlihat anggun dengan balutan kebaya terusan berwarna lembut, rambut yang di sanggul sederhana dan beberapa hiasan rambut yang dipadukan polesan make up tipis di wajah cantiknya. Walaupun memberikan kesan natural, namun kesan itu yang membuat kecantikannya terpancar alami. Ia bahkan cocok untuk dinobatkan sebagai ratu sejagat.

"Keyna, kau sudah datang?" Tanya wanita itu lembut yang menatapku lewat pantulan cermin.

Aku tersadar dari lamunanku dan segera menutup mulutku yang sempat terbuka cukup lama. Aku melangkah ke arah wanita itu yang masih belum bisa kupercaya bahwa wanita itu adalah ibuku. Aku berdiri tepat di sebelah ibu yang sedang bercermin dan menatapnya tanpa berkedip dengan mulut yang lagi-lagi sedikit terbuka. Ibu menghadap ke arahku dan menatapku heran karena mataku yang tak kunjung berkedip. Lambaian tangan Ibu didepan wajahku membuatku tersadar dan mengerjapkan mataku.

"Keyna? Kau baik-baik saja? Apa kau sakit?" Ibu mengulurkan tangannya ke dahiku. Aku menggapai lalu menggenggam tangan ibu sebelum menyentuh dahiku.

"Aku baik-baik saja bu, bahkan aku sangat bahagia hari ini," Aku menatap Ibu lekat.

"Benarkah? Ibu juga ikut bahagia kalau melihat anak ibu yang satu ini bahagia," Kata Ibu tulus. Ibu mengulurkan sebelah tangannya yang bebas dan menyentuh pipiku lalu mengusapnya lembut. Aku memejamkan mataku menikmati belaian tangan Ibu di wajahku. Aku menggenggam tangan Ibu di pipiku dan tertawa kecil mendengar perkataan Ibu barusan.

"Apa Ibu tahu?" Aku menjauhkan tangan Ibu dari pipiku dan menggenggam kedua tangan ibu lembut.

"Hmm?"

"Aku bahagia hari ini karena hari ini adalah hari Ibu berbahagia."

"Benarkah?" Ibu tertawa kecil, aku mengganguk mengiyakan.

Hujan Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang