29

613 51 8
                                    

Warning 18+

"Keyna, apa kau bisa pergi ke pasar? Ibu mau bersiap mengantar Ayahmu check up."

"Ah ya, aku akan berangkat setelah mandi."

Langkahku terhenti menatap gemas wajah mengantuk Ares yang berdiri di hadapanku.

"Ibu, aku ingin ikut Nenek dan Kakek ke rumah sakit, apa boleh?"

"Kau yakin? Ibu tidak ikut, kau tahu?"

"Iya aku tahu, tapi aku sudah berjanji pada Kakek semalam aku akan menemaninya besok, Kak Ara juga akan ikut jadi aku tidak akan bosan."

"Oke, kau boleh pergi. Cepatlah mandi atau kau akan di tinggal."

Ares hanya mengangguk kecil lalu berlari kecil dengan langkah terhuyung menuju kamar mandi. 10 menit kemudian ia kembali berlari kecil ke arahku dengan selilit handuk di pinggangnya dan rambut basah yang menetes.

"Aku sudah selesai mandi."

"Sini, Ibu keringkan dulu rambutmu." Aku mengusap-ngusap kepalanya lembut dengan selembar handuk.

"Keyna, bahan-bahannya sudah ibu catat ya." Ibu menaruh secarik kertas diatas meja tak jauh dariku.

Aku hanya bergumam menjawab ucapan Ibu dengan tanganku yang masih sibuk mengeringkan rambut Ares.

"Farren, apa kau bisa bantu Keyna ke pasar? Ibu akan pulang sekitar jam 4 atau 5 sore."

Sontak tanganku berhenti dan menoleh kearah tangga dimana lelaki itu berdiri dengan tatapan bingungnya. Aku terpana menontonnya yang mengacak rambutnya berantakan. Sial, kenapa dia bisa dengan wajah bangun tidurnya terlihat sangat tampan?

"Ibu, apa sudah selesai?" Tanya Ares yang menarikku kembali ke dunia nyata.

"Ah, iya sudah." Jawabku sekenanya. Ares berlari kecil menuju kamar dan menghilang di balik pintu.

"Kita berangkat pukul berapa?" Suara baritonnya membuatku menoleh terkejut.

"A-aku mau mandi." Ia menatapku bingung.

"Maksudnya, kita akan pergi setelah mandi." Lanjutku lalu berbalik cepat menuju kamar mandi.

Ku lirik sedikit dan mendapati ia menatapku jenaka dengan tawa kecil. Aku bergegas memasuki kamar mandi dan menutup pintunya cepat. Tenanglah sedikit jantungku. Ku raba dadaku yang masih berdetak dengan keras. Tidak adil, wajah tampannya membuat aku tidak bisa berpikir jernih. Sial, ini memalukan.

*

"Kau yakin ini rute yang benar?" Tanyaku pada Farren yang berjalan di sampingku.

"Sepertinya. Entahlah, terakhir aku kesini sekitar 9 tahun yang lalu."

"Yang benar saja kita sudah berjalan selama 20 menit dan kau sendiri tidak yakin?"

"Ingat, kau yang meminta jalan kaki. Aku sudah menawari naik kendaraan bukan?"

"Ya itu karena kau bilang hanya sekitar 10 menit dari rumah." Protesku tak terima.

"Tapi aku tak pernah bilang 10 menit dengan jalan kaki kan?"

Aku memandangnya takjub dengan mulut terbuka.

"Kenapa?" Tanyanya dengan sebelah alis terangkat.

"Sudahku duga, sifat menyebalkanmu itu tak pernah hilang."

Hujan Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang