36

596 60 4
                                    

"Astaga, kau mengejutkanku saja!" Aku memegangi jantungku yang terasa akan copot.

Bagaimana tidak, aku yang sedang mengeringkan rambutku dengan handuk keluar dari kamar mandi dan mendapati Farren yang terduduk diam di ruangan gelap.

Aku berjalan menuju saklar lampu lalu menyalakannya dan menatap Farren yang masih tertunduk diam. Aku menghampirinya, duduk di sebelahnya. Aku mengalungkan handuk ke leherku lalu mengusap perlahan rambutnya dari samping.

"Kau kenapa, hmm?"

Ia hanya terdiam dan semakin tertunduk dalam.

"Aku tak akan mengerti kalau kau diam saja. Ada apa, sayang?"

"Aku... aku minta maaf."

"Kenapa? Apa kau melakukan kesalahan?"

Ia menggeleng pelan.

"Lalu ada apa?"

"Aku minta maaf karena selama ini tidak ada di sisimu, aku minta maaf kau harus melewati rasa sakitmu sendiri, aku minta maaf karena terlambat menyadarinya."

Aku menarik kepalanya ke pelukanku, mengusapnya perlahan. Ia menenggelamkan kepalanya dengan bahu bergetar, walaupun tanpa suara aku bisa menebak kalau ia sedang menangis.

"Aku tak apa, Farren. Aku baik-baik saja, aku bahagia bisa memiliki Ares. Dan sekarang kau sudah ada di pelukanku, aku sudah bahagia sekarang." Ucapku lembut dengan tanganku yang masih mengusap lembut rambut coklatnya.

"Berjanjilah padaku tiap ada kesulitan katakan padaku, tiap ada masalah sekecil apapun yang mengganggumu ungkapkan padaku, dan jika ada sifatku atau perilaku ku yang kau tak suka langsung utarakan padaku." Ia mengangkat kepalanya menatapku dengan mata coklat kayu yang berair.

"Ya, aku berjanji." Aku tersenyum lembut.

"Aku.. akan menuruti semua keinginanmu, aku berjanji selama itu masih dalam kendaliku akan aku wujudkan semua keinginanmu. Bahkan, jika kau ingin aku berlutut untukmu, aku akan melakukannya dengan senang hati."

"Aku tidak ingin itu, Farren. Cukup kau berada di sisi kami dan menjadi sosok ayah yang baik bagi Ares itu sudah lebih dari cukup untukku," Aku mengusap air matanya yang mengalir. "Kenapa kau tiba-tiba seperti ini, hmm?" Ia menggeleng perlahan lalu mengusap pipinya yang masih basah.

"Sini, aku keringkan rambutmu." Ia meraih handuk di leherku lalu mengusap rambutku perlahan.

Aku menatap wajahnya yang sedang sibuk dengan rambutku. Sudut matanya yang memerah terlihat jelas karena kontras dengan kulit putihnya. Mata coklatnya memancarkan emosi sedih dari dalam hatinya. Sebenarnya apa yang terjadi?

Aku mengecup bibirnya sekilas. Ia menghentikan tangannya yang mengusap rambutku terlihat terkejut dengan pipi memerah. Serius, apa dia masih malu?

"Apa yang kau lakukan?"

"Mengecupmu."

"Bukan itu maksudku.. ah sudahlah lupakan." Ia kembali fokus mengeringkan rambutku.

"Lalu apa yang kau maksud?"

Ia hanya terdiam. Ah, kenapa menggodanya sangat menyenangkan?

Aku kembali mendekatkan wajah kami lalu meciumnya, kini bukan kecupan singkat namun aku memangutnya dalam. Ia menarik tengkukku memperdalam ciuaman kami. Aku mengalungkan tanganku di lehernya mengikuti alur permainan.

Setelah beberapa saat terlena, ia tiba-tiba menjauhkan tubuhku dengan napas tersengal. Bibirnya yang memerah terlihat sangat menggairahkan, sial kenapa dia selalu saja membuatku hilang kendali.

Hujan Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang