17

580 41 4
                                    

Angin sore berhembus pelan membuatku sedikit menggigil, aku melangkah pelan seraya memeluk tanganku menghangatkan diri. Hah, setidaknya lebih menyegarkan daripada hanya di dalam rumah dan berjalan sore juga cukup baik untuk kesehatan kandungan.

Aku berkeliling mencari bangku kosong di tepian danau, sepertinya danau adalah tempat favoritku untuk menenangkan diri dimanapun itu. Aku duduk di salah satu bangku Panjang yang menghadap langsung ke danau.

Mataku menyapu lingkungan sekitar dan terhenti pada sebuah keluarga kecil yang sedang pinknik diatas selembar karpet tipis, keluarga dimana ada seorang Ayah yang sedang bermain dengan anak lelakinya yang berumur sekitar 5 tahun, seorang ibu yang sedang membuat roti lapis serta menjaga anak bungsu mereka yang ada di kereta bayi.

Sang anak sulung terlihat tertawa lepas saat Ayahnya menggendongnya memutar di udara dan sang Ayah terlihat bahagia melihat anaknya tertawa, lalu sang Ibu yang memperhatikan mereka tersenyum hangat tanpa memberhentikan tangannya yang sedang mengoles selai pada roti.

Saat anak bungsu mereka menangis kencang, sang Ibu sigap menggendongnya dan menenangkannya, menyadari bahwa anak bungsunya menangsi si Ayah menurunkan anak sulungnya lalu menghampiri istrinya yang kewalahan menangani tangis si anak bungsu. Sang kakak yang penasaran datang menghampiri adiknya lalu mengusap kepala adiknya yang berada di pelukan ibunya, dan akhirnya tangisan bayi terhenti saat semua anggota keluarganya datang menenangkannya. Ah, mereka terlihat sangat harmonis.

Aku mengusap perutku lembut dan berbisik, "Maafkan Ibu yang tidak bisa memberikan orangtua lengkap padamu, aku harap seorang Ibu sudah cukup untukmu."

Aku mendongak melihat langit yang semakin menggelap, aku segera beranjak dari dudukku dan berjalan hendak pulang. Aku melangkah pelan seraya memegangi punggungku yang terasa sakit, akhir-akhir ini rasa sakit di sekitar punggungku semakin menjadi-jadi.

Aku menepi sebentar dan bersandar pada sebuah tiang lampu di sudut jalan. Sebuah butiran putih kecil terjatuh di hadapanku dan mencair saat menyentuh tanah, semakih lama butiran putih itu bermunculan semakin banyak, aku mengulurkan tanganku mencoba menyentuhnya, aku mendongak dan mendapati butiran salju telah memenuhi langit. Salju pertama di tahun ini dan pertama kalinya aku lihat salju di hidupku.

Aku mengadahkan tanganku menangkap salju yang berjatuhan, salju yang berwarna putih bersih, begitu indah dan halus. Tanpa sadar, sebuah senyum terukir di bibirku, pemandangan langit malam yang dipenuhi butiran salju terlihat sangat cantik.

"Keyna?" Aku menoleh kearah seorang lelaki yang memanggil tak jauh dariku. Ia terlihat menenteng dua kantung besar sampah di tangannya.

"Garra?" Ia menaruh 2 kantung sampah di tempat sampah besar dan berlari kecil menghampiriku.

"Kau sedang apa?"

"Ah, tadi aku habis jalan sore dan istirahat sebentar, dan yang seperti kau lihat salju yang turun terlihat sangat cantik membuatku terpaku sejenak," ia tertawa kecil.

"Kau sendiri sedang apa?"

"Ah, aku keluar memubuang sampah, aku sedang bekerja di rumah makan itu," Garra menunjuk sebuah rumah makan yang cukup mewah.

"Oh, kalau begitu kembalilah bekerja, aku akan pulang."

"Kau sudah makan?"

"Belum, kenapa?"

"Mau mampir ke tempatku bekerja? Makanan disana cukup enak dan aku jamin itu," aku menatapnya ragu, masalahnya aku tak punya cukup simpanan uang untuk makan diluar dan rumah makan itu terlihat mahal.

"Sepertinya aku makan di rumah saja."

"Ayolah? Ikutlah denganku, aku yang traktir."

"Kau serius?"

Hujan Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang