20

598 54 6
                                    

Jakarta, 2023.

Suara bising kegaduhan khas perkantoran mengisi langkah kakiku menuju lift yang hampir tertutup. Aku mempercepat langkahku mencoba mengejarnya, tepat sebelum pintu itu tertutup seseorang menahan pintu lift agar tidak tertutup. Aku mengucapkan terima kasihku pada orang itu yang dibalas senyuman.

"Sudah mau pulang Bu?"

"Sudah berapa kali jangan panggil aku Ibu?" Aku mendelik pada lelaki disampingku.

"Mau bagaimana lagi? Kau adalah atasanku, mana mungkin aku bersikap bebas?"

"Tapi tetap saja, bisakah kau bersikap seperti biasanya saat diluar jam kerja, kakak tingkatku tersayang?" Ia tertawa kecil.

"Ahh, sepertinya menyenangkan menjadi atasan. Datang sesukamu dan pulang sebelum pukul 3 sore. Aku jadi merindukan istriku." Ucapnya dengan mata menerawang.

"Itu artinya kau harus berusaha lebih keras, seniorku." Ucapku seraya menepuk bahunya.

Aku melangkahkan kakiku saat pintu lift terbuka dan menoleh sebentar pada Kak Ryan.

"Semangat Kak!" Ucapku dengan kepalan ditanganku lalu beranjak pergi.

"Oy, Keyna. Promosikan aku ya? Promosikan aku satu tingkat saja." Ucapnya sebelum pintu lift tertutup yang hanya kubalas lambaian tangan seraya melenggang pergi.

Haruskah aku berterima kasih pada Bu Rose? Berkat pengalaman penelitiannya dan pengalaman saat di Surabaya, aku dengan mudah dapat diterima di perusahaan besar dengan gaji yang cukup tinggi.

Asal kau tahu saja, kakak tingkatku harus berusaha keras selama 6 tahun lamanya untuk mencapai posisinya sekarang. Ternyata nama seorang Bu Rose tak boleh diremehkan di dunia industri pangan.

Aku meraih ponselku yang berdering nyaring.

"Ya? Garra?" Ucapku saat mendekatkan ponsel ke telingaku.

"Aku sudah keluar, tunggu aku sebentar lagi. Ah, tidak. Mungkin akan lama, aku mampir dulu ke rumah. Hehehe."

****

"Keyna, apa kau mendengarku?"

"Aku mendengarmu, Garra." Ucapku seraya menyeka bibir belepotan Ares.

"Ares, makannya jangan berantakan, bajumu kotor."

"Bohong! Kau mengabaikanku. Kau hanya memperhatikan Ares." Ucapnya kesal.

"Kau itu kenapa sih? Jelas aku akan lebih peduli pada Ares. Dia anakku."

"Oom Garra lebay." Ucap Ares mencemooh.

"Diam kau bocah." Ucap Garra yang dibalas juluran lidah Ares.

"Tolonglah, Garra. Umurmu sudah memasuki kepala 3 sekarang, dewasalah sedikit."

"Jangan menceramahiku bocah. Aku 2 tahun lebih tua darimu. Kau bahkan tak pernah memperlakukanku dengan hormat." Ia memanyunkan bibirnya.

"Lagipula siapa yang menyuruhmu membawa anakmu? Sepertinya aku hanya mengundangmu." Lanjutnya lagi.

"Oom Garra jahat. Aku gak diajak."

"Bukan peduliku, bocah." Ucapnya cepat.

"Hei, dermawanlah sedikit. Bayangkan jika kau diposisiku, tiba-tiba seorang CEO kaya raya mengajakku ke restoran mahal dimana menu paling murahnya serharga 5 dijit angka. Siapa yang akan menyia-nyiakan ajakan itu. Setidaknya aku harus membawa anakku. Benarkan Ares?" Ucapku yang dibalas anggukan Ares.

"Benar Ibu, Oom Garra ga boleh pelit."

"Diam kau, Bocah."

"Setidaknya sadar diri sedikit. Kau membawa anakmu dan memesan menu yang sangat mahal. Dasar pemeras." Lanjutnya cepat.

Hujan Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang