End of The Road

34.4K 2.9K 168
                                    

Aku menghembuskan napas kesal untuk kesekian kalinya dalam 10 menit terakhir. Jarak dari tempatku berdiri ke pintu yang mengarah ke bagian dalam gedung, lumayan jauh.

Ini jam 1 siang, di area Kuningan super gersang, masih dalam pakaian kerjaku yang adalah setelan blazer plus heels, menggeret koper, dan aku berdiri di bawah terik tengah hari.

Inyo keparat.
Tadi dia bilang sudah mau sampai, bikin aku nyaris kejepit lift, bikin sepatu kesayanganku bocel-bocel karena tersandung berkali-kali melewati jalan berkerikil yang baru mau diaspal, dan ternyata, dia masih belum datang!
Makin lama terjemur di bawah matahari, makin mendidih darahku rasanya. Mana perjalanan Jakarta-Sukabumi lumayan jauh dan aku mesti terjebak selama 2 jam bareng lelaki paling ngeselin di dunia, yang bukan cuma culas, tapi julid, sinis...

Sebuah mobil berhenti di hadapanku, jendela penumpangnya terbuka, menurunkan masker menampilkan wajah bertulang pipi tinggi, rahang tajam, bibir tipis berlekuk dan mata dengan sorot dingin yang nyaris kejam.
"Macet." Ia beralasan.

Kalau aja kami gak di tepi jalan besar dan gak sepanas sekarang, aku pengen banget ngomel.
Inyo keluar untuk memasukkan koperku ke bagasi, sementara aku membuka pintu dan menghempaskan diri di kursi penumpang.
Udara dingin menyergap seketika. Inyo gak kenal setelan AC, dia cuma akan menggeser ke pengaturan terdingin setiap saat.
Dari panas langsung ke beku.

"Jangan digeser."
Saat tanganku menyentuh kenop suhu, dia sudah masuk mobil. Suaranya yang rendah dan selalu terdengar kayak orang kumur-kumur, apalagi di balik masker, membuatku berhenti.

"Nyo, gue udah nyaris kena heat stroke, trus masuk mobil lo kayak gini, sakit gue." Aku beralasan, menghapus keringat di wajah, tapi kemudian menggosok lengan.

"Gak bakalan." Ia menjalankan mobil, "Gak usah lebay deh."

Aku menghela napas dramatis, kembali menyesali dan bertanya kenapa-gimana-kok-bisa-ya lelaki dengan segala negativitas ini, yang dengan kasual memakai kaos tipis dan jeans dalam kulkas berjalan ini, yang sudah kembali memakai kacamata hitam di mukanya yang sejudes grumpy cat ini, menjadi suamiku.

***

Mungkin kami bosan. Mungkin kami sama-sama udah muak. Mungkin kami memang sudah gak cocok lagi. Sebetulnya, minggu ini harusnya kami melakukan perjalanan ke Bandung untuk masukin berkas ke Pengadilan Agama untuk bercerai. FYI, aku dan dia sama-sama sudah melengkapi semua persyaratan, dan tinggal ambil nomor lalu upload dokumen, karena, heiiiiii, di masa pandemi ini, cerai bisa online, cyin!

Tapi kemudian, kami harus ke acara keluarganya Inyo di Sukabumi.
Villa liburan tujuan kami berada di kaki gunung Salak jauh dari mana-mana. Beberapa sepupu yang dokter menjanjikan screening rapid test sebelum kumpul-kumpul, jadi kami harus datang. Jadilah dia (dan aku, untuk menghindari gosip), punya agenda baru. Ironis. Harusnya ngurus perpisahan, malah kumpul keluarga.

Tahun ini, ada tambahan ponakan baru dari sepupu Inyo yang lahir beberapa bulan lalu. Lalu ada yang baru mau nikah juga. Meski gak lengkap, mungkin hanya 20an orang, mereka kekeuh mengadakan reuni di masa pandemi gini, mengutus wakil keluarga karena kalau "terputus", mereka kayak takut klan rempongnya punah.

Which is silly. Virtual aja gak siiiih? Mungkin aku udah keburu sebel juga karena jadi mesti menunda proses pisah dari Inyo, dan malah harus menghabiskan waktu lama sama dia. Bayangin, ini reuni bikin aku mesti cuti--berangkat Kamis malam, dan pulang Jakarta di Minggu malam. Yang dulu-dulu lebih lama, bisa seminggu full saat liburan sekolah anak-anak, malah.

Sebelah tangan Inyo meraih gelas di dasbor, memecah konsentrasiku, lalu ia minum diiringi suara es berkeresak.
Aku meliriknya gak percaya. Mobil sedingin ini, dan dia minum iced coffee. Tentu saja. Orang paling dingin sedunia masa minumnya hot chocolate.

Tujuh Belas TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang