Morning After

13.1K 2.1K 140
                                        

Malam tahun baru terasa sangat samar, gak bisa terpikir semua detailnya. Awalnya seperti cuma sekedar film kabur yang kuputar ulang di kepalaku. Lalu perlahan mulai semakin jelas, tapi cuma garis besarnya aja.

Aku ingat menarik Inyo ke kamarku.
Aku ingat melakukan banyak hal yang gak pernah kepikir sebelumnya.
Aku ingat sempat merasa kagum karena seluruh bagian tubuhku bergerak tanpa perintah.
Aku ingat setelah semua selesai, kami berdua duduk bersebelahan selama hampir sejam tanpa bicara.
Aku ingat akhirnya Inyo meraih tanganku dan minta maaf.
Aku ingat kalau ini bukan salahnya dia.
Aku ingat aku bahkan gak merasakan apapun--takut, merasa bersalah, berdosa. Nope. Aku mati rasa.
Dan bingung.

Seluruh rangkaian kejadiannya berlangsung cepat, mungkin hanya 30 menit. Tapi ada banyak momen yang kuingat dalam gerakan lambat.

Aku ingat cara Inyo menatapku.
Aku ingat tangannya menyentuhku.
Aku ingat suaranya memanggil namaku.
Aku ingat bagaimana ia memelukku erat-erat.

Dia juga peluk aku setelah minta maaf, dan aku gak menjawab, hanya melihat dinding kamar sambil mengerutkan kening.

Inyo lalu menyelimutiku, dan terpekik melihat kasur di tempat tidurku. Dia panik, tanya-tanya banyak, tapi aku gak bereaksi. Akhirnya dia bongkar ranselku, mengganti pakaianku dengan piyama bersih, dan peluk aku lama-lama.
Aku kayaknya tidur habis itu.

Aku bangun dengan semua bagian tubuh sakit, mulai kepala sampai kaki. Aku duduk lama sambil ngelamun panjang. Saat memutuskan untuk bangkit, aku melihat Inyo tidur di lantai kamarku, dialasi bantal sofa besar-besar. Dia gak butuh selimut, seperti yang kuduga.

Keluar kamar, Ibu sudah di meja makan, menyapa dan suruh aku bikin minum hangat.
Pintu depan bungalow terbuka dan aku bisa melihat pantai yang mulai terang dan menyilaukan.

"Inyo bilang kamu gak enak badan. Semalam dia tidur di kamar kamu jadinya..." Ibu berkata.
Aku ngangguk aja.

"Eh ya ampun, kamu mens ya? Bocor lho, itu. Bawa pembalut? Pantesan kamu gak enak badan... Ibu juga kalau PMS ngilu-ngilu, migren..." Ibu dengan heboh jalan ke kamarnya, sementara aku mengecek bagian bawah piyamaku yang bernoda darah.

Aku minum air panas, sementara Ibu masih bicara padaku dari kamarnya. Tiba-tiba Inyo keluar dari kamarku dengan panik.
Aku gak bisa menahan senyum melihatnya setengah tidur, dengan mata sipit, muka bengkak-bengkak dan rambut berantakan menoleh kanan kiri, sampai melihatku dan segera menghampiri sambil menghembuskan napas lega.

"Nda. Kamu gimana?" Inyo berhenti di depanku, menahan tangannya untuk menyentuhku.

"Oke."

"Masa?" Inyo gak percaya.

"Kepala aku sakit. Badan aku sakit semua. Perutku sakit. Bagian lain jauh lebih sakit lagi..." Aku menjawab jujur, dan pipi Inyo memerah seketika.

"Kamu mau aku beliin sesuatu atau apa..."
"Gak usah. Ini Ibu punya." Ibu memotong, memberiku beberapa pembalut. Dan sehelai celana tidur baru.

"Oh?" Inyo mengerutkan kening, bingung.
"Yap." Aku mengangguk, dan dia paham, mengangkat tangannya ke mulut dengan shock.

"Idih, Inyo. Menstruasi itu natural kali." Ibu menanggapi sambil mencubit pinggang Inyo, sebelum melanjutkan dengan, "Sana telpon Room Service, pesenin makan buat Nda. Kamu makan di kamar aja ya. Sambil nyandar, nonton, istirahat. Udahnya mandi air hangat, tiduran, pasti better."

Inyo nurut dan berjalan ke telpon.
Aku berterimakasih pada Ibu dan masuk kamar mandi dalam kamarku.

Setelah menutup pintu, barulah aku bisa panik dengan merdeka. Tadi malam, kami...
Yah.
Gimana ya.
Aku tuh saking cupunya, tahunya dikit banget soal ginian. Aku ngerti soal gimana manusia berkembang biak, juga kalau teman-temanku bercanda soal make out. Tapi gak pernah sejauh ini. Sebelum sama Inyo, aku pegangan tangan sama pacar doang udah berasa cukup.

Tujuh Belas TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang