"Sering amat dijengukin. Pacar lo?"
Aku menggeplak lengan Ijas mendengar pertanyaannya. Motor yang kami kendarai oleng sejenak, sementara saudara kembarku itu mengutuk dan berkata kasar."Dia tuh sakit tauuuu! Gue datang nemenin gantian ama temen-temen lain." Tambahku setelah kami jalan stabil lagi.
"Dia sendirian terus kayaknya, kenapa sih? Kagak ada saudara apa emaknya gitu, mau dibilang terlantar, ehhh, kamarnya VVIP..." Ijas melanjutkan.
Ijas baru aja pulang les, jemput aku dari RS tempat Pandu dirawat. "Nyokapnya dokter di RS situ," aku menjawab, "Bokapnya kerja di lepas pantai, oil and gas gitu lah."
"Ooooh. Gue kirain taksiran lo, Cuy. Cakep sih dia mayan, cuma kaget gue, selera lo kok yang sakit-sakitan gitu."
Aku ngeplak helmnya Ijas lagi. Pandu bukan orang yang aku taksir, tapi kami lumayan akrab saat sekelas di 1-E dan ikutan G&F. Kelas XI (karena kemudian sekolah ganti format dari 2 jadi XI), Pandu masuk IPA, aku masuk IPS. Dia sudah sering sakit sejak dulu, tapi makin parah sampai harus berhenti sekolah.
"Temen doang."
"Lo naksir laki gak sih? Udah tomboy, kasar. Jangan-jangan lo suka cewek..."Gimana coba aku bisa jadi lemah gemulai, kelakuan saudaraku begini. Mulut cingcongnya mengundang pergulatan fisik banget kalau lagi berduaan. Catet! Kalau lagi berduaan. Di rumah, dia bisa jaim banget depan orang tua kami, sampai aku sempat curiga jangan-jangan dia tuh kelainan kepribadian ganda. Kejahiliyahannya beneran cuma ditampilkannya padaku.
"Naksir, lah!"
"Pih. Taksiran lo paling cowok-cowok macem Ican gitu lah... Ketebaaaaak..."Ijas adalah anggota tim basket dari SMA 87, yang merupakan rival utama sekolahku tiap ada turnamen basket SMA. Tentu dia kenal sama Ican yang jadi MVP dan kecengan seluruh gadis-gadis SMA.
"Gak minat. Dia kelakuannya kayak lo. Rese."Ijas tiba-tiba menepikan motornya. Tepat di samping SMAK Dago dengan pohon beringin spooky-nya yang besar dan sepi. Mau magrib pula.
"Turun."
"Ijas, apaan sih."
"Turun. Balik duluan pake angkot sana." Ijas melepas helmku sampai rambutku berantakan. Aku menahannya.
"Apa sih? Gue bilangin Ambu lho, ya!"
"Itu cewek gue, si Ussy, barusan masuk mobil merah itu, tuh! Gue mau liat."
"Eh, eh, jangan cari masalah, Jas..."
"Ya dia cari masalah. Gue mau kejar terus samperin."
"Emang lo yakin 100% itu si Ussy..."
"Yakin!" Ijas menarik helm dari tanganku.
"Gue gak pegang duit balik pake angkot sama ojek!"
"Ada, itu ATM BCA di ujung jalan..."
"Ijas...lo tega banget sih..."
Kami tarik-tarikan helm, sampai terdengar klakson dari sebuah motor yang kemudian berhenti."Mas, Mas. Tolong jangan kasar, Mas."
Seorang pemuda berjaket dan jeans melangkah di depan kami. Aku dan Ijas berhenti seketika, memandangnya bingung.
Dia pakai helm, mukanya tertutup, tapi entah kenapa ada yang familiar dengan tubuh dan gestur dan suaranya..."Ini biasa, Mas. Kami Kakak-Adek kok. Saya nyuruh dia turun karena liat pacar saya ama cowok lain naik mobil... Beneran, gak ada apa-apa." Ijas menjelaskan.
Si Mas menoleh ke arahku, lalu membuka helmnya, di baliknya, ada wajah Alfa yang tampak bingung. Rambutnya berantakan, dan tanpa seragam SMA, Alfa...kelihatan...beda.
"Lho, Nda?"
"Eh. Alfa..."
"Nah bagus, kalian berdua saling kenal, anterin balik ya. Gue cus dulu, bhay!" Ijas menarik helmku dan menjadikan momen ini untuknya pergi. Kami memandanginya berlalu begitu saja.Lalu Alfa memandangku khawatir.
"Dia beneran kakak kamu?"
Aku mengangguk. Dan tiba-tiba, dia ketawa."Fa, lo tuh seneng banget ya ketawain gue, heran..." Akhirnya aku speak up.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tujuh Belas Tahun
RomanceNda dan Inyo, sudah berada di tepi jurang perceraian. Pernikahan keduanya, membosankan dan sangat melelahkan. Saat keduanya harus liburan di tengah-tengah pandemi, beberapa rahasia dan kisah masa lalu muncul, membuat Nda dan Inyo memikirkan ulang se...