Sejak malam Bazaar itu, aku kabur-kaburan dari Inyo. Pokoknya, aku menghindarinya sebisa mungkin, gak angkat telpon, gak balas SMS, jauh-jauh dari tempat nongkrong...yang bikin aku jadi semacam kuncen kelas. Dia kayaknya juga paham, dan berhenti berusaha.
Aku tuh pernah punya pacar jaman kelas 1. Anak SMA sebelah, anak basket teman klub si Ijas. Beberapa bulan tapi cupu. Dia anaknya baik, kerjaan pacaran kami cuma nonton bioskop rame-rame, makan bareng di restoran, Valentine-an dan pegangan tangan. Lalu kita bosan dan putus gitu aja, baik-baik.
Kelas XI, Ijas mendadak jadi abang posesif. Semua yang deketin aku (dikit sih, tapi biar dramatis), dia hadang duluan. Banyak yang merasa terintimidasi, abisan dia badannya gede, suaranya lantang dan kelakuannya rese. Malesin emang dia, padahal aku udah berusaha glow up biar punya pacar. Kzl. Jadi aku cuma menghitung hari, menunggu kapan waktunya kuliah biar aku gak lagi ditempelin si Ijas, bisa pacaran tenang dan bebas.
...but then along came Inyo.
Inyo teman sih kategorinya. Tapi dia juga kesayangannya Ambu, Abah dan Ijas. Sering aku mendapati keduanya main PS bareng, gitar-gitaran di halaman, ke bengkel motor, janjian belanja cupang sama-sama... Akrab lah pokoknya.
Jadi ketika aku menjauhi Inyo, Ijas merasa jadi korban, terkena dampak langsung kehilangan sahabat barunya.
"Lo tuh bego tau." Ijas membuka pintu kamarku dan nyelonong masuk.
"Apaan sih?"
"Lo duluan yang nyosor Inyo. Kenapa lo yang kabur?"
Aku buru-buru menutup pintu kamar. Udah jam tidur, kedua orangtua kami ada di rumah. Aku kayak role model remaja pergaulan bebas banget kesannya, kalau dengar kata-kata Ijas barusan.
"Malu gue, Cuy."
"Ya anjir, hadapi aja. Siapa tau dia punya perasaan yang sama. Dia kan agak telmi anaknya."
"Masa? Dia pinter tau, Jas."
"Kagak. Dia bego soal gini-ginian. Dia tuh gak pernah punya pacar, tau. Makanya mungkin dia shock lo cium tiba-tiba kemarin."Wow. Masa sih? Inyo? Yang masuk kategori ganteng kalem di SMA kami, misterius dan cool, tapi juga perhatian dan hangat...
"Aaaaah. Lo ngobrol lah sama dia. Gue nih tersiksa gak ada temennnnn..."
"Temen lo kan banyak."
"Ya tapi pada hip-hop. Pusing gue denger lagu begitu. Inyo tuh sama kayak kita, dengerinnya Bee-gees, Carpenters, ABBA, Bon Jovi, Guns 'n Roses... Banyak yang bisa gue obrolin. Gara-gara lo, gue jadi susah kan, dia gak berani ke sini. Gue kayak ngapelin dia, main ke rumahnya terus. Tapi rame di sana, maen PS harus gantian."DASAR CULAS.
"Gue kasih ultimatum ya. Lo ngobrol ama dia, atau gue kasihtau Ambu lo cium Inyo." Ijas menunjukku macam pendekar film kung-fu.
Sial. Aku masih memikirkan gimana caranya ajakin Inyo ngobrol, setelah dua mingguan menganggap dia hilang dari muka bumi, saat tiba-tiba Ican nelpon. Dia memang mau bikin malam pembubaran panitia di rumahnya, tapi aku udah bilang gak bakalan ikut.
Malam ini dia membujuk, karena teman-teman cewek gak ada yang mau ikutan kalau aku gak datang. Pada takut kali yak, secara rumahnya Ican tuh sepi, jarang ada orangtua pula. Dengan berbagai rayuan dan sogokan, akhirnya aku sepakat ikutan, asal boleh bawa Ijas.
"BENERAN YA!"
"Iye."
"Okesip."
"Eh, Can... Erm, Alfa ikutan gak?"
"Bro, gak mungkin lah dia mau."
Bener juga.Inyo gak pernah ikut rame-ramean gini. Aku bimbang mau ngerasa lega atau sedih. Pengen liat dia, tapi takut. Pengen ngobrol lagi, kangen sama obrolan kami yang bisa kemana-mana asal-asalan tapi bisa deep juga. Tapi gak yakin semua bakalan sama setelah...tindakan impulsif yang sangat kusesali terakhir kami ketemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tujuh Belas Tahun
RomanceNda dan Inyo, sudah berada di tepi jurang perceraian. Pernikahan keduanya, membosankan dan sangat melelahkan. Saat keduanya harus liburan di tengah-tengah pandemi, beberapa rahasia dan kisah masa lalu muncul, membuat Nda dan Inyo memikirkan ulang se...