Walk The Walk

10.9K 1.9K 133
                                    

Yang bilang lamaran itu ribet, cobalah membatalkan pertunangan. Banyak drama, yang bisa bikin seorang lelaki super sabar macam Mas Gani sekalipun, kelihatan super suram.

Beberapa hari setelah Inyo operasi lalu balik Jakarta, aku dan Mas Gani ambil cuti untuk ngabarin semua keluarga kami. Menghadap Ambu yang baru pulang, kukira akan mudah. Tapi ternyata, dia nangis juga, bikin aku merasa berdosa. Seumur-umur, kukenal ibuku cuma nangis gara-gara nonton film sama ngulek cabe doang. Sekarang dia sedih gara-gara aku, auto-durhaka rasanya.

Tapi untungnya dia paham, begitu kami dengan kompak bilang kalau ada masalah prinsip, beliau langsung yang, "Ya sudah, yang penting jangan nyesel ya..." Tentu sambil melihatku nanar.

Setelahnya kami ke Maminya Mas Gani... Naini. Lumayan bikin shock, karena beliau cukup histeris menanggapi pembatalan pernikahan. Sempet sedih, memohon jangan batal, sampai ujung-ujungnya marah-marah ngomelin Mas Gani karena gak kawin-kawin.
Aku hanya bisa minta maaf sambil balikin semua barang yang pernah dibawa ke rumah. Meski beberapa kali mencoba mikir ulang, akhirnya yakin aku gak bakalan bisa juga bikin Mas Gani happy kalau dia pengen beranak pinak.

Oppie kaget (lagi) tapi untungnya, dia dan Papinya gak banyak tanya. Aku malah khawatir sama Mas Gani tampak stress ngeliat Maminya berganti mood dalam waktu singkat... Mana nanya mulu kenapa sebabnya, bikin aku ngerasa diinterogasi dan nyaris buka rahasia.

"Sudah, Mi. Jangan rusak hubungan silaturahmi kita, Gani dan Nda memang gak jodoh. Atau Mami tetap mau paksain kami nikah untuk ujung-ujungnya berpisah?" Mas Gani udah spanneng ngobrol sama emaknya sendiri, sementara aku cuma bisa memandang awkward.

"Ya cobain dulu, dong, Mas! Belum mulai udah nyerah ini namanya!"

"Gak bisa, Mi. Aku sama Nda tahu kalau kita lebih jauh dan maksain diri, nunggu salah satu dari kita kalah atau menang. Pernikahan bukan gitu konsepnya..."

"Bukan kalah-menang tapi kompromi! Kalian masa gak mau usaha bahkan sebelum mulai sih?"

"Obviously, we couldn't!" Mas Gani bicara keras, agak frustasi. Ia mengusap wajah dan berlutut di depan ibunya. "Mi, aku suka dan sayang sama Nda. Tapi kami berdua sepakat kalau untuk nikah dan berkeluarga, kami gak bakalan bisa. Maaf Mi. Maafin Gani ya Mi. Bukan Nda. Belum waktunya."

Keduanya menangis bersama, berpelukan. Membuatku ikutan meneteskan air mata. Sebagian diriku merasa sangat bersalah. Tapi Mas Gani benar, akan sia-sia kalau kami tetap lanjut. Aku membayangkan menderitanya terpaksa punya anak gara-gara gak enak hati. It will be cruel for the child and myself. Tapi, mengingat Mas Gani yang hatinya lembut dan baik, sepertinya sih dia akan jadi yang paling menderita karena...he wouldn't dare to force me.

Akhirnya Maminya Mas Gani mengangguk sambil memandangku, "Nda. Kita tetap jaga hubungan baik keluarga seperti dulu lagi ya."

Aku gak pernah selega itu seumur hidupku.

***

Setelah selesai semua urusan, aku masih belum bisa memperjelas statusku sama Inyo ke siapapun. Mas Gani yang mengusulkan, karena dia gak mau aku dianggap aneh-aneh sama orang-orang sekitar yang tahu soal rencana dan pembatalan kami. Jadilah aku dan Inyo agak-agak backstreet. Meski sebetulnya belum jelas juga gimana hubungan kami, dan si Alfino nih makin tua bukannya makin kalem tapi tambah insecure dan impulsif.
...walaupun sok-sok'an kalem.

Agak lebih lega saat mendengar Mas Gani taaruf-an duluan. Dia ngabarin, tentu saja, dan aku pikir...lebih cocok kayaknya dia sama perempuan soleha baik-baik yang akan bahagia punya banyak anak buat dia.

Tujuh Belas TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang