Talk The Talk

10.7K 1.9K 232
                                    

Aku mengusap rambut Inyo yang tebal dan lembut. Masih gak percaya dia benar-benar nyata. Inyo menaruh kepalanya di pangkuanku, sementara kami duduk di tangga darurat.

Making out with an ex on the emergency exit is definitely not on my To Do List. Aku masih deg-deg'an dan belum selesai gemetaran sampai sekarang. Aku gak pernah segini pengennya sama siapapun sebelumnya. Inyo beneran mesti memelukku erat-erat barusan untuk bikin aku sadar kalau...well, we're in my work place. And we should be working.

"Nda."
"Hmm."
"Apa kabar?"
Aku tertawa. Inyo juga.

Ia memutar kepalanya menghadapku, dan tersenyum. Senyum yang gak pernah benar-benar hilang dari ingatanku, kini kembali nyata. Ujung-ujung bibirnya yang pelan-pelan bergerak dan matanya yang menyipit. Aku pengen rekam dan putar ulang dalam slowmotion untuk setiap kali tiap aku kangen atau kepikiran. Seperti...kebanyakan malam dalam 5 tahun terakhir.

Ia menyentuh wajahku dengan jari-jarinya.
"Kamu beda banget tapi masih sama."

"You too." Jawabku setengah berbisik.

"Kamu mau pergi dari sini gak?" Ia bertanya.
Aku mengangguk.

"Ke mana?"
"Mana aja."
"Aku kabarin Pak Basuki dulu, kita kerja di luar cari sambungan internet lebih cepat." Ia duduk dan mengeluarkan ponsel dari sakunya, mulai mengetik.

"Okay. Done. Let's go."

Ambil tas di ruang kerja, menyelinap ke basement, lalu masuk mobil dan pergi, rasanya kayak cuma sekejap mata. Kami duduk tanpa bicara selama beberapa waktu.

Ia memegang tanganku dari detik aku duduk, sampai akhirnya bertanya, "Can we go, like, far away from here?"

"Define far."
"I don't know. As far as we could?"
"Yes."

***

Inyo menyetir ke arah Selatan. Menuju Situ Patengan dan berhenti di sana. Dia pernah cerita kalau keluarga besarnya selalu liburan bareng di tempat dengan danau. Mereka udah diajarin ngebapak-bapak sejak dini, belajar mancing, kemping, bakar-bakaran daging... Sebagai orang mager, aku gak bisa membayangkan liburan penuh kegiatan outdoor. Kayaknya repot aja gitu.

Inyo membuka pintu mobilku, mengulurkan tangan mengajakku keluar.

Aku gak tau kenapa aku ikut.
Sepanjang jalan kepalaku bergantian mengutuk dan mensyukuri situasi. Aku gak bisa munafik, aku seneng banget ketemu Inyo lagi. Tapi semakin jauh dari kota, aku mulai kepikiran Mas Gani. Aku ngabarin dia kalau mesti pergi seharian sama partner dari Singapore. Dia hanya balas chat di jam-jam solat, notifikasi pun memang cuma nyala untuk telepon dari nomor tertentu aja. Tapi dia pasti iya-iya aja.

I feel so guilty. Yet I can't stop being happy.
Aku bahkan gak bisa berhenti tersenyum sementara kami jalan ke salah satu kursi-kursi piknik kayu di tepi danau. Aku melirik jam tangan dan menyadari kalau udah mau sore, pantesan langitnya gak terik dan udara mulai lebih sejuk.

Gerakanku dilihat Inyo, yang segera menyadari ada cincin di jari manisku.

"Is that..."
"Yes."

Ia memandangku lama dengan tatapan yang seakan menelanjangi hatiku.
"You don't love him."

Beberapa bulan terakhir, aku sayang sama Mas Gani. He's a decent, nice, very good guy, what's not to love?

"I do." I really do. Aku menganggap Mas Gani sebagai calon suami.
"Not the way you love me." This is so true.

Aku mengangkat bahu, "Not the way I love you."
Gak ada gunanya juga bohong atau menutupi perasaanku sama dia. It shows.

Tujuh Belas TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang