End The Seesaw Game

14.6K 2.5K 338
                                    

Aku bangun dengan kaget karena setelah berbulan-bulan, akhirnya membuka mata di dalam pelukannya Inyo lagi.
Mendadak ingat sebelum kami mulai sering berantem, aku selalu sedih kalau bangun kesiangan karena gak bisa berlama-lama di kasur sama Inyo. Teman kantor sampai berkomentar aku Anti-Morning Person karena tiap pagi lesu. Padahal, itu gara-gara aku harus ninggalin Inyo di rumah, dalam kondisi yang sama grumpy-nya.

Gini awalnya.
Suatu malam aku pulang lembur dan Inyo tiba-tiba tanya soal gajiku di kantor, soal jabatan, soal kerjaanku apa aja. Lalu dia menawarkan untuk "gantiin gaji" dan minta aku stay di rumah.
Aku tau dia duitnya banyak (rekening dia kan ATM-nya aku yang pegang, sementara dia pakai m-banking untuk urusan rumah) tapi rasanya beneran nyebelin dan songong banget aja untuk nyuruh aku jadi buibu rumah tangga tapi caranya gitu. Capek abis lembur, laper banget, tiba-tiba diketusin sambil bilang, "Udahlah gak usah capek-capek, kamu tuh tempatnya di rumah sebagai istri."

Bok. Yak. Tolong.
Perdebatan sengit pertama yang gak diakhiri make-up sex. Inyo tidur di sofa malam itu, aku kunci kamar sambil nangis-nangis, marah setengah mati karena harga diriku tertampar. Aku tuh hidup dengan pikiran kalau aku akan jadi perempuan yang berdaya, punya karya, jadi seseorang yang bisa dibanggakan, yang gitu lohhhh...tau kan? Dan ini konsep yang dulu diamini Inyo sebelum nikah.
Lalu tiba-tiba dia nyuruh aku di rumah aja nemenin dia? Bahkan mau BAYARIN senilai gajiku? Sampai detik ini masih sebel ingat malam itu.

Besoknya berlanjut dengan pagi-pagi aku bangun terlambat, sementara Inyo berusaha minta maaf dan bikinin sarapan spesial. Aku gak makan karena ada meeting sama client.
Malamnya, dia ngambek dan gantian kunci aku di luar kamar kami.

Besoknya lagi, kami baikan dan berencana liburan random, tapi tau-tau Inyo yang harus kerja, ada emergency at work. Jadi batal. Dan aku dibiarin luntang-lantung di rumah seharian, dia sibuk sendiri di studio. Lalu aku kebayang betapa bosan dan menderitanya kalau dia suruh aku stop kerja sementara dia cuekin sepanjang hari. Ngapain coba? Nyiksa bini?
Baper lagi, malemnya ribut lagi.

Gitu terus. Kayak main jungkat-jungkit tiap hari, kadang aku yang salah, kadang dia yang salah. Kalau baikan, manis-manis bentar. Lalu ada lagi bahasan. Capek kan lama-lama. Sampai empat bulan lalu aku beneran pindah ke kamar tamu. Kami lalu diam-diaman sebisa mungkin.

Sejujurnya, baru tadi malam kami beneran berantem dan bicara lagi. Untungnya, diakhiri dengan tidur pelukan.
Tapi biasanya bangunnya gak enak nih.
Makanya aku membuka mata dengan perasaan waswas, sebelum ingat kalau kami lagi liburan sama keluarganya Inyo di Sukabumi.

"Tidur lagi..." Suara bangun tidurnya Inyo yang rendah dan kasar terdengar.
"Dicariin gak kita?" Aku bertanya khawatir.
"Please."

Hei, jarang-jarang si Bapak bilang 'please'. Jadi aku kembali menyelusupkan kepalaku ke lehernya. Haha.

***

Hari ini berjalan lebih menyenangkan. Tentu karena liburan, dan liburannya pun sama orang-orang rame yang seru. Ke dapur ngisi botol minum nyangkut diajak cerita-cerita, ke depan TV ada yang manggil nanya-nanya, ke ruang tamu diajakin liat akun gosip dulu, nyampe ke tepi danau Inyo udah melipat tangan di depan dada sambil jongkok. Tapi dia mah udah paham dengan keterlambatanku di antara keluarganya. Kami mau jalan kaki keliling danau gitu ceritanya, sambil berjemur. Covid thingy, semua orang mesti kena matahari dan jalan kaki kalau bisa.

"They'll miss you if we're separated." Inyo bergumam saat kami sudah agak jauh.

Aku agak-agak nyess gimana gitu ya, dengar kata-kata Inyo. Tapi semalam yang normal emang gak berarti terlalu banyak. Just a lu
cky shot. "I'll miss them more." Aku menjawab.

Tujuh Belas TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang