Aku baru mengeringkan rambut dengan handuk di atas kasur, saat Inyo masuk kamar membawa gelas.
Gara-gara pembicaraan barusan, kami jadi sedikit awkward saat bertukar pandang. Tapi akhirnya Inyo duduk di sampingku.
"Kenapa kamu gak bilang aku, Nda?" Ia bertanya, memberiku gelas yang ternyata isinya air hangat. Dengan lemon.
"Soal apa?"
"Soal..." Inyo menghela napas, "Soal kamu pernah hamil. Anak aku juga kan?"Aku mengangguk murung. Dan akhirnya mulai bercerita, tentang kapan aku akhirnya tahu, apa yang kulakukan, kenapa aku gak kasihtau Inyo saat itu, dan bagaimana Mas Gani ikut terseret dalam masalahku saat itu.
Inyo memandangiku sepanjang aku cerita sambil menunduk. Tatapannya terasa menghujam, bikin aku kembali merasa bersalah. Tapi untungnya, saat aku selesai bicara, Inyo mengusap rambutku yang masih basah dan hanya menghembuskan napas panjang.
"Nobody knows?" Akhirnya ia bertanya, setelah beberapa menit dalam diam, dan aku menyeruput minum.
"Mas Gani, Hana, dan dokter senior itu..." Aku menghitung dengan jari, "Udah."
Inyo mengangkat kedua alisnya.
"Kamu jago banget menyimpan rahasia sampai depresi bertahun-tahun."Aku menaruh gelas sebelum menghempaskan diri ke kasur. Sebel banget komentarnya. Lebih nyebelin karena dia 100% benar. Tapi kekesalanku berhenti saat tiba-tiba dia menaruh kepalanya di perutku.
"We can make it right." Ia berkata, menoleh ke arahku, membuat tanganku otomatis menyelusup ke rambutnya, membelainya.
"Hmm? Apa Nyo?"
"Kalau kamu pikirin, kita tuh harusnya gak ada chances sama sekali buat berhasil pas putus pertama kali. Lalu setelah 4 tahun lebih pisah tanpa satu kabar pun, kita ketemu lagi dalam kondisi yang secara akal sehat gak mungkin banget kita bisa bareng. And yet we're here, 10 years later, 17 after our first meet. We're married. We have problems. But we're still together.""Jadi maksudnya gimana Nyo?"
"Maksudnya...kita bisa beresin semuanya. Pasti bisa. Semua masalah kita. Masalah dalam diri masing-masing, masalah satu sama lain, masalah soal kerjaan, soal keluarga besar...""Nyo, aku gak bisa banget kalau kamu mau aku punya anak." Aku segera memotong.
"Kamu bilang gini karena kamu punya pengalaman buruk. Banget. Aku ngerti. Tapi aku butuh satu kesempatan untuk kasih lihat kamu, kalau semua kejadian buruk itu gak akan terulang. Sekarang kamu gak sendirian lagi."
Yah. Inyo nih ya.
Dia tuh jarang-jarang membujuk, jadi meskipun aku menolak, dia udah tau banget aku sebetulnya sudah duluan luluh."Tapi kita harus beresin masalah-masalah kita yang lain sebelum sampai ke sana. Dan itu butuh banyak waktu dan usaha. Jadi kamu gak usah freak out duluan, Nda." Ia menambahkan, "Aku ngajakin kamu berdamai dan bukan pengen kamu tau-tau hamil besok."
Hmmmmmm. Coba aku pikirin dulu.
Ya. Sebetulnya gapapa juga sih."Are you happy, Nda?" Inyo bertanya.
Aku menggelengkan kepala."I'm unhappy too." Ia memeluk pinggangku.
Aku gak pernah dengar Inyo mengungkapkan perasaannya sebelumnya, dan ternyata sedih banget tahu dia juga gak bahagia.
"And I missed us. I missed you. I missed this."Sebelum semua hal memburuk, kami punya kebiasaan cerita sambil tiban-tibanan kayak sekarang sebelum tidur. Inyo akan menyandarkan kepalanya ke perutku dan cerita soal apa aja, mulai dari kerjaannya yang aku gak ngerti sama sekali, berita terbaru dari internet, random knowledge detail yang selalu bikin aku amazed, sampai jokes aneh yang kadang hanya perlu dua-tiga kata untuk membuatku ketawa.
![](https://img.wattpad.com/cover/273188570-288-k785365.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tujuh Belas Tahun
RomanceNda dan Inyo, sudah berada di tepi jurang perceraian. Pernikahan keduanya, membosankan dan sangat melelahkan. Saat keduanya harus liburan di tengah-tengah pandemi, beberapa rahasia dan kisah masa lalu muncul, membuat Nda dan Inyo memikirkan ulang se...