The Meet

10.1K 1.9K 237
                                    

"Jangan ngelamun mulu, pasti mikirin Mas Ganteng." Klip kertas melayang dan jatuh tepat di hidungku.

Aku menoleh pada si empunya suara. Namanya Sesha, teman sedivisiku yang kecil mungil berkerudung. Dia desainer segala bisa tapi usilnya luar biasa. Beberapa hari lalu dia ngecengin cowok di lobby RS...yang ternyata Mas Gani lagi jemput aku pulang. Sejak saat itu godain mulu.

"Enggak, lah. Lagi mikirin website kita jelek banget."
"Ah elah, Nda. Gituan dipikirin. Gue punya cowok cakep kaya Mas Ganyeng, mikirinnya gituan."

Astaga Sesha.
"Cuy, inget kerudung."
"Kebayang kan kalau gue gak pake? Setan aja istighfar."

Dia adalah satu dari sedikit orang paling ceplas ceplos apa adanya yang pernah kutemui.
Dan gampang thirsty. Untung masih pilih-pilih teman, jadi orang-orang tetap kepikir dia adalah perempuan manis biasa.

"Jadi kapan nikahnya sih lo?"
"Hmmm. Tiga, empat bulan lagi lah."
"What?! Itu bentar lagi, lho! Lo gak ada pusing ngurusin apaan gitu? Temen gue kayanya kalau mau kawinan pada repot tanam benanglah, diet, olahraga, ngurus ini itu tetek bengek. Lo mau kawin kayak orang bikin event sunat massal...santai."

"Yaudah sih, Ses, yang ngurus nyokap gue ama emaknya Mas Gani. Gue mah terima jadi."

"Dijodohin lo?"
"Yoi."
"ANJRIT SUMPAH DEMI APA?"

Aku udah mau cerita, saat tiba-tiba sekretaris direktur RS muncul di atas kubikel kami. Tentu membuatku dan Sesha ngerasa tertangkap basah bergunjing.
"Nda, dipanggil Bapak. Yok ikut."
"Ke...kenapa Mbak?" Aku buru-buru bangkit dan meraih buku catatanku dari meja. Ia jalan duluan, dan aku melangkah mengikutinya dengan deg-deg'an.

"Bapak mau ngobrol soal proposal kamu tentang website."

YEEESSSHHHH.
Akhirnya!
Aku udah lama banget gemes sama situs RS kami yang...aduh, mak. Mirip sama laman tahun 2000-an awal. Gak trendi, gak enak dilihat, gimana bisa informatif kalau tiap buka rasanya migren liat warna background dan huruf mirip-mirip semua! Permintaan urusan website ini sudah kuajukan berbulan-bulan...

"Ada perusahaan rekanan Bapak, yang akan bantu buat aplikasi untuk hape gitu. Gak ngerti, deh, aku. Tapi dia mau buatin website juga sekalian. Nanti kamu tanya langsung ajalah sama orangnya."

"Oooh. Oke oke, orang mana, Mbak?"
Tau-tau dia ngomong Hokkian kayak Bapak, matilah eik.

"Indonesian. Tapi kayaknya lama di luar. Sama Bapak ngobrol bahasa Inggris aneh."
Errrr. Mungkin maksudnya Singlish ya. Bapak Bossku punya banyak bisnis di Malaysia, Hong Kong dan Singapore. Tapi dia paling sering stay di Bandung, hobinya ngurus RS dengan alasan, "Gak bisa jadi dokter, jadi bos dokter-dokter ajalah."
Baik Pak, orang kaya mah bebasssss.

Aku memasuki ruangan Bapak mengikuti asprinya, yang menyapa lebih dulu. Beneran lagi ngomong Singlish.

"Nah ini Fin. Orang yang pengen banget beresin website RS saya. Namanya Andaria...PR di sini. Nda, ini Fino, dia punya Alt Tech dari Singapore, kami pernah kerja bareng..."
Si Bapak selalu ingat nama semua staff dan kliennya memang. Aku bergerak untuk mengulurkan tangan dan pasang wajah ramah, siap menyalami sosok di meja tamu bosku.

Dan terhenti seketika.

Lelaki di hadapanku adalah sosok yang kupikir gak bakalan muncul lagi di hidupku. It's Inyo.
Dalam turtleneck, jeans, boots, all black outfit. Rambut lurusnya nyaris menutupi alis dalam potongan asal. Ia melirikku dan meski sempat tampak kaget sedetik, langsung pasang wajah dingin judes dan cuma menatap tanpa senyum.

He's so gorgeous my heart hurts.
Inyo lebih kurus dibanding dulu, dengan hidungnya kini terlihat lebih jelas, tulang pipi tinggi dan rahang nyaris bersudut tajam.

"She'll give you what you need ya, Fin..."

"Ya, Pak." Suara Inyo tenang, kalem, rendah, berat, dan bikin aku mendadak lupa napas. Sialan.

"Later, after, we gotta check the dimsum place. So shiok laaa..."

"Noted, Pak." Inyo menutup tabletnya, menyalami Pak Bosku, lalu berjalan melewatiku menuju pintu. Lho? Eh? Gimana ini?

"Go, go, follow. Don't be blur like sotong, laaa, Andari." Bapak memberiku isyarat syu-syu nyuruh aku...ngikutin Inyo? Like for real?

Aku buru-buru berputar di atas heels-ku dan menyusul sosok berpakaian serba hitam yang sudah jauh jalan di depanku itu. Dia mau kemana coba? Aku mengamatinya sambil mempercepat langkahku ketika ia setengah sprint lari ke salah satu pojokan...
Pintu darurat?

"Mas. Mas Fino..." Aku memanggilnya sia-sia, karena dia gak nengok dan gak memperlambat langkahnya. Aku melepas sepatuku dan mengejarnya. Ia membuka pintu darurat, sudah menyelinap ke baliknya saat akhirnya aku bisa mengejar dan...ikut masuk ke ruangan tangga tersebut.

Ia berdiri, bersandar ke dinding, menatapku nanar sementara aku ngos-ngosan acak-acakan banget ngejarin dia barusan.

"Nda?" Inyo. In flesh and bones. Okay, wait. Dia kelihatan jauh lebih kacau dari aku sih. Beneran kayak habis lihat setan, kabur, dan ketangkep.
Ekspresinya panik dan kaget dan kebingungan.

"Nyo, kamu gak papa?"
Aku jadi khawatir juga yekan.

"I'm...not sure." Ia mengusap wajahnya. Sekali. Lihat aku. Usap lagi. Lihat lagi. "Kamu ngapain di sini?"

"Kerja. Kamu ngapain di sini?"
Hebatnya, aku bisa mendadak jago akting kalem. Mungkin efek nonton film-filmnya Bastian Sahala akhirnya ada hasilnya.

"Sama."

Kami berpandangan sekali lagi. Aku mengamatinya lebih lama. Inyo dan alisnya yang tebal, matanya yang tajam dan bibir berlekuk cemberutnya. He's here. He's real.

"Can I touch you?" Tiba-tiba dia bertanya.

"No." Aku menjawab segera.

"I have to." Ia menambahkan.

"Aku tadi mau salam tapi kamu buru-buru kabur."

"Maaf. Aku tadi hilang akal sebentar."

He's what?
Belum sempat aku mengucapkan apapun, Inyo tiba-tiba bergerak dan berdiri tepat di depanku. Sebelah tangannya mengusap rambutku dan menyelipkannya ke balik telinga.
It's been years.
Yet his touch is still electric.

Aku cuma bisa terpaku memandanginya begitu dekat. Bahkan parfumnya masih sama. Aku mengangkat tangan dan berniat mendorong Inyo menjauh. Tapi tanganku berhenti begitu saja di dadanya. Merasakan jantungnya yang berdebar kencang dan naik turun napasnya.

"Nda."
"Ya?"
"I'm kissing you now, okay."

And he did.
And I replied.

Tujuh Belas TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang